Mohon tunggu...
Edy Suhardono
Edy Suhardono Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Assessor

Direktur IISA Assessment Consultancy & Research Centre.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jika Anda Naif Tapi Serakah

22 November 2024   10:10 Diperbarui: 22 November 2024   10:30 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam artikel berjudul "Anda Mulai Mabuk Kripto? Musibah Segera Muncul," Andreas Maryoto (Kompas.id, 21/11/2024) mengungkapkan bahwa banyak individu berinvestasi dalam aset kripto tanpa pemahaman yang memadai tentang risikonya. Penulis memperingatkan bahwa meskipun dukungan dari institusi dan kemunculan produk keuangan baru dapat menggoda, investor tetap harus waspada terhadap penipuan yang menjanjikan keuntungan instan.

Ketidakpastian regulasi multilateral dan keserakahan untuk meraih keuntungan cepat menjadi dua faktor utama yang memicu penipuan dalam dunia cryptocurrency. Fenomena ini paling terlihat pada Bitcoin, di mana penipuan sering kali menjebak korban dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat. Ketidakpastian regulasi multilateral berperan penting dalam memungkinkan penipuan ini berkembang. Tanpa adanya kesepakatan internasional mengenai regulasi cryptocurrency, celah tersebut dimanfaatkan oleh para penipu.

Paul Krugman, ekonom pemenang Nobel, menyatakan dalam sebuah artikel di The New York Times (2021) bahwa "Ketidakjelasan dalam regulasi adalah racun yang merusak kepercayaan konsumen. Tanpa perlindungan yang jelas, investor menjadi mangsa yang mudah bagi penipu." Situasi ini menciptakan ruang bagi penipuan beroperasi dengan bebas, di mana penipu bisa memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat terhadap hukum dan regulasi yang ada.

Menurut laporan Global Challenges (2000), sistem multilateral kini sedang mengalami krisis, dengan banyak negara lebih memilih kebijakan unilateral atau bilateral. Ini mengakibatkan inkonsistensi hukum yang menyulitkan penegakan terhadap penipuan cryptocurrency.

Keserakahan

Keserakahan untuk segera mendapatkan keuntungan juga berkontribusi besar terhadap penipuan dalam cryptocurrency. Banyak investor terbuai oleh janji keuntungan tinggi tanpa memahami risiko yang menyertainya. Penelitian oleh Perdana dan Jiow (The Conversation, 13/11/2024) menunjukkan bahwa penipuan cryptocurrency sering kali memanfaatkan kelemahan psikologis, seperti fear of missing out (FOMO). Para penipu menggunakan teknik rekayasa sosial untuk memanipulasi korban agar percaya bahwa investasi tersebut aman dan menguntungkan.

Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, dalam sebuah konferensi keuangan internasional (2022), menjelaskan bahwa "Keserakahan adalah faktor yang mendorong orang untuk mengambil risiko lebih besar, sering kali tanpa pertimbangan yang sepadan." Dalam konteks ini, banyak individu terpengaruh untuk berinvestasi dalam skema yang menjanjikan keuntungan besar secara cepat, meskipun mereka memiliki pemahaman yang minim tentang pasar cryptocurrency.

Di Indonesia, banyak orang kehilangan aset mereka akibat ketidakpahaman dan keserakahan. Laporan Kompas (28/12/2021) menunjukkan bahwa masyarakat dengan pengetahuan terbatas tentang investasi kripto menjadi sasaran empuk bagi penipu. Mereka sering kali tergiur oleh imbal hasil tinggi tanpa memahami mekanisme pasar kripto, dan situasi ini diperburuk dengan minimnya regulasi yang jelas baik di tingkat nasional maupun internasional.

Rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat juga berperan besar dalam masalah ini. Laporan Bank Indonesia (2023) menunjukkan bahwa sekitar 70% investor cryptocurrency di Indonesia tidak memahami risiko investasi ini, menciptakan peluang bagi penipuan berkedok investasi yang menjanjikan keuntungan cepat namun berujung pada kerugian signifikan.

Inkonsistensi Legal

Apapun hasil pemilu Trump, pola penipuan ini tetap beroperasi seolah tak terpengaruh oleh regulasi. Inkonsistensi hukum akibat belum adanya ratifikasi legal internasional antar negara membuat penipuan cryptocurrency sulit untuk diberantas. Menurut Oxford Research Encyclopedia of Politics, "multilateralism requires states to follow international norms and pay more respect to international institutions" (Politics, 22/08/2017). Tanpa dukungan hukum internasional yang kuat, upaya untuk menanggulangi penipuan cryptocurrency akan terus menghadapi hambatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun