Mohon tunggu...
Edy Siswanto
Edy Siswanto Mohon Tunggu... Guru - Doktor Bidang Manajemen Kependidikan dan Ketua Umum Perkumpulan Pendidik Vokasi Indonesia-Ikatan Guru Vokasi Indonesia Maju (PPVI-IGVIM)

Penulis, dan pemerhati politik pendidikan. Pembelajar, berkelana mencari ilmu dan dakwah membangun generasi khairu ummah..

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menyoal Link and Match dan Pentingnya Organisasi Profesi (Orprof) Guru Vokasi

7 April 2023   12:40 Diperbarui: 7 April 2023   12:44 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa masih banyak perusahaan yang enggan bekerja sama dengan SMK?

Kompetensi angkatan kerja kita pada umumnya rendah. Produktivitas, Kerjasama dan daya tahan terhadap pekerjaan juga rendah. Sekalipun pendidikan vokasi sudah menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan IDUKA. Diberlakukannya kurikulum merdeka, belum banyak menyentuh perubahan mindset keberkerjaan SMK, tingkat pengangguran lulusan SMK masih tinggi. Ini yang industri merasa kehadiran SMK belum begitu diperhitungkan. Disamping perusahaan tidak mau terikat. Sistem reward and punishment bagi industri yang telah atau belum banyak berkontribusi ke SMK belum berjalan, aturan sudah ada, diperlukan ketegasan dan kesungguhan pemerintah dalam implementasinya. 

Pemerintah seharusnya menyesuaikan kebutuhan industri dengan kurikulum pendidikan. Namun yang menjadi masalah, meski kurikulum sudah disesuaikan, namun penyiapan tenaga pendidik SMK tak kalah penting. Adanya program guru penggerak belum banyak menyasar ke guru SMK. Itupun berkaitan dengan kepemimpinan pembelajaran (pedagogik) yang dikedepankan. Artinya guru SMK tak cukup itu namun juga kemampuan dan kompetensi profesional mindsst industri jangan ketinggalan. Ini yang perlu dipersiapkan, sehingga linier pedagogik disatu sisi, kompetensi industri profesional disisi lain sangat diperlukan bagi guru SMK.

Mendikbud sudah memberlakukan kurikulum merdeka, mendorong  SMK bekerja sama dengan IDUKA dengan konsekuensi diberlakukannya super tax deduction, namun dirasa belum ampuh "memaksa" IDUKA dalam merawat SMK. Belum ada konsekuensi dampak apa jika industri tidak membantu SMK misalnya? sekedar tanda tangan MOU memenuhi persayaratan hitam diatas putih keperluan akreditasi misalnya. Bukan karena kebutuhan dan saling membutuhkan. Praktik siswa di IDUKA sebatas magang siswa, magang guru bagaimana?  Belum lagi serapan lulusannya sampai kepada bantuan hibah riset terapan TEFA, ini  belum jalan.

"Karenanya link and match antara SMK dan IDUKA masih terasa jauh panggang dari api" belum bisa berjalan beriringan dan duduk bersama. Permasalaahn ini belum tuntas. Berkaitan dengan kurikulum dan kebutuhan industri, misalnya dalam kurikulum perlu ada skill development (pengembangan keahlian), bukan hanya pelajaran teori saja, karena lulusan ada dua jalur, mereka yang akan menjadi pekerja dan mereka yang akan menjadi akademisi di perguruan tinggi.

Apa solusi untuk membuat lulusan SMK bisa dibutuhkan IDUKA?

Pertama, penguatan Revitalisasi SMK sesuai Inpres 16 tahun 2016, belum cukup disusul dengan Perpres 68 tahun 2022, tentang revitalisasi Pendidikan dan pelatihan vokasi melibatkan Kadin. Sebagai salah satu program prioritas pemerintah, Kemendikbud telah merevitalisasi sebanyak 147 SMK Pariwisata, 312 SMK Pertanian, dan 219 SMK Kemaritiman. Selain itu saat ini terdapat 2.700 SMK yang telah bekerja sama dengan IDUKA, serta 870 SMK telah melakukan Teaching Factory (TEFA) dan Technopark. Pertanyaannya sampai kapan ini selesai sementara jumlah SMK ada 14.500an SMK seluruh Indonesia? Implemenatsi Perpres 68 tahun 2022, nampaknya juga terkendala belum bisa efeketif berjalan setelah setahun diberlakukan. Belum jelas format seperti apa peran Kadin yang cukup strategis sebagai ujung tombak implementasi perpres tersebut.

Kedua, Perlu ada program magang baik siswa maupun guru di industri yang representative, disesuaikan dengan kebutuhan industri. "Perlu dikasih jalannya, magang dimana? Kebutuhan industrinya bagaimana? Jadi bukan sekedar magang disemua tempat industri yang tidak relevan," percuma saja jika magang siswa enam bulan tapi bukan di industri yang representative. Sementara industri representative sangat terbatas, ini yang jadi permasalahan. SMK harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan industri. Dengan demikian lulusannya bisa terserap industri.

Ketiga, jika mau membuka suatu program di SMK, terlebih dulu harus ada pernyataan dunia industri mengenai kebutuhan tenaga yang akan dihasilkan. Selain itu kurikulum SMK yang dibuat haruslah model market driven curriculum yang dikembangkan bersama dengan dunia industri.

Keempat, pertajam lagi program super tax deduction, yang merupakan insentif pajak yang diberikan pemerintah pada industri yang terlibat dalam program pendidikan vokasi, meliputi kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi. Program ini hampir tiga tahun sejak diluncurkan belum efektif dan tidak kelihatan progresnya. Justru banyak industri besar menghilangkan program CSR pendidikannya dengan mengalihkan ke program sosial lainnya. Membuat dampak SMK tidak bisa membuka kelas industrinya yang sangat dibutuhkan dari industri mitra.

Kelima, pentingnya kolaborasi dan duduk bersama pemerintah dalam hal ini Dirjen Pendidikan vokasi (dirjen diksi) melibatkan organisasi profesi guru vokasi. Kehadiran Perkumpulan Pendidik Vokasi Indoensia-Ikatan Guru Vokasi Indonesia Maju (PPVI-IGVIM) dilatarbelakangi rendahnya mutu lulusan SMK, dan kurangnya kompetensi dan profesionalitas guru SMK, minim dan belum meratanya peralatan praktik dan laborotarium bengkel di SMK terutama luar jawa. Dan sederet permalsahan lain. IGVIM juga ikut mengakselerasi program pemerintah lewat Dirjen Vokasi. Mewujudkan revitalisasi SMK seperti dalam Inpres No 9 Tahun 2016 dan Perpres 68 tahun 2022. Keberadaaanya khusus untuk mengurusi masalah pendidikan dibidang vokasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun