Panggilan Telepon Cerpen : Edy Priyatna
Suara azan Subuh sayup-sayup terdengar dari kamarku hingga membuatku terjaga dari tidurku. Namun aku masih belum mau beranjak dari ranjang tidurku. Sementara telingaku masih menikmati gema azan yang indah itu dan hatiku senantiasa menjawab panggilan tersebut. Lalu ketika suara panggilan itu selesai tiba-tiba terdengar suara panggilan lain.
“Kriiiinggggg….”
Ternyata suara dering telepon di ruang tengah. Suara itu membuat diriku bangkit dan keluar dari kamar untuk mengangkat telepon tersebut.
“Siapa ya, pagi-pagi begini telepon,” kataku dalam hati sambil menuju tempat dimana telepon itu berada. “Bismillahirohmanirohim!” ucapku sambil mengangkat gagang telepon.
“Assalamu’laikum…,” kata suara dari balik telepon memanggil mengawali pembicaraan. Aku tak kenal suara itu.
“Wa’alaikumsalam…..,” sahutku penasaran, siapa orang yang dibalik telepon itu, “Siapa ya?” tanyaku kemudian.
“Halo, apa bisa bicara dengan mas Ari Ryan?“
“Ya, saya sendiri, ini bicara dengan siapa ya?”
“Hai Ryan….ini aku Jaka nih. Sahabat lama kamu yang sudah sepuluh tahun tak berjumpa dengan kamu. Kamu ingat tidak, Ryan?”
Aku diam sambil mencari-cari kawan lamaku yang sudah lama tak bersua denganku. “Jaka…? Jaka siapa! Aku tidak punya kawan bernama Jaka,” kataku dalam hati sebelum menjawab suara dari balik telepon itu.
“Siapa, ya?” tanyaku lagi memastikan.
“Aku, Jaka…Ryan! Jaka sahabat kamu yang dulu sama-sama beli kopiah di pasar. Bukan itu saja kopiah kita pun sama-sama ukuranya. Lalu kita sama-sama beli hadiah buat guru kita. Kamu ingat tidak, Ryan?” Suara si penelepon itu memberitahukan tentang apa yang sudah ia alami bersama denganku pada waktu yang telah lalu.
Aku berdiam diri lagi. Aku masih terus berpikir tentang apa yang sudah diceritakan oleh orang yang ada dibalik telepon itu. Lalu tiba-tiba aku terbawa oleh bayangan yang telah lama berlalu. Pada sebuah tempat yang cukup ramai. Pasar. Oh…ya, pasar. Sekarang aku baru ingat ketika aku membeli kopiah bersama sahabatku itu. Kulihat diriku bersama seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri itu. Kami berdua sedang menawar barang-barang yang sedang kami beli untuk kami berdua dan hadiah untuk guru ngaji di kampung kami. Bukan itu saja, sebelum kami membelinya kami pun sudah terlebih dahulu berjanji. Jika nanti kita membeli hadiah harus sama-sama bentuknya. Entah itu warnanya, bentuknya maupun motifnya. Agar tak ada pilih kasih terhadap kami berdua, terhadap hadiah yang kami berikan pada seorang yang telah mendidik kami. Guru ngaji di kampung kami. Itu semua agar persahabatan kami berdua berjalan mulus. Namun karena keadaan akhirnya kami pun terpisah hingga sepuluh tahun lamanya.
Aku baru ingat sekarang. Jaka! Ari Jaka, sahabatku. Benarkah ini Ari Jaka? Aku baru menyadarinya, dia adalah satu-satunya sahabatku yang selalu bersama kemanapun aku pergi. Sama-sama Ari. Subhanallah. Orang yang sama sekali tidak aku ketahui dimana kini ia berada. Apakah benar dia orangnya yang meneleponku itu? Aku makin bertanya-tanya.
“Halo…halo…halo….Ryan! Kamu masih mendengarkanku?” Aku pun terjaga oleh suara penelepon itu lagi.
“Ya, iya…, Jaka,” sahutku lagi, “Ini Ari Jaka ya?” tanyaku kemudian.
“Iya…..wah berarti kamu baru ingat ya…?” jawab suara telepon itu lagi.
“Iya, Jaka…..”
“Aku ingin bertemu kamu Ryan…”
“Oh…ya?”
“Aku ingin ke rumahmu, Ryan…,” sahut suara dari balik telepon memberitahukan maksudnya. Ternyata ia ingin ke rumahku.
“Bolehkan aku kerumahmu?”
Aku tak langsung menjawabnya. Karena aku masih membayangkan wajah sahabatku itu. “Sekarang ini seperti apa ya? Apakah aku masih mengenalnya?” kataku dalam hati.
“Ooo…boleh…boleh…” akhirnya aku pun membolehkanya ia datang kerumah.
“Alhamdulillah…… Ya, sudah kalau begitu sampai bertemu di rumah ya… Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam………….”
Setelah telepon itu terputus, aku kembali tak mengerti siapa sebenarnya orang itu. Apa maksud tujuan orang itu meneleponku. Apakah ia hanya sekedar minta ijin datang kerumaahku saja. Lalu darimana ia bisa mendapatkan nomor telepon dan alamat rumahku. Entahlah.
Aku langsung mengejar Subuhku yang telah hampir habis. Kemudian tak lama setelah selesai shalat, aku kembali dikejutkan oleh bayangan yang mirip dengan yang aku alami tadi. Bayangan yang ingin merangkulku. Merangkulku seperti tanda ia akan kembali untuk aku dan kembali ingin merajut persahabatan yang telah lama putus itu. Aku pun tak habis mengerti kenapa bayangan itu selalu mengikutiku. Bayangan itu bukan yang pertama kali aku melihatnya. Ini sudah yang kesepuluh kalinya. Tapi aku tak tahu bayangan siapa itu sebenarnya yang selalu ingin merangkulku. Lalu itulah terakhir bayangan yang ingin merangkulku ketika aku selesai shalat. Namun aku masih bertanya-tanya siapa dia sebenarnya, apakah suara yang dibalik telepon itu atau bukan? Entahlah aku pun tak tahu.
“Kriiiinggggg…...”
Tiba-tiba suara pangilan telepon terdengar kembali. Saat itu aku sedang di kamar mandi dan aku terpaksa harus keluar sebentar untuk mengangkat telepon itu lagi.
“Halo….Asalamu’alaikum…….”
“Waalaikumsalam…….”
“Ma’af, apakah ini dengan nak Ryan?”
“Iya, benar, bu! Ini dengan Ibu siapa ya?”
“Ini dengan ibunya Jaka.. Kamu kenal Jaka, kan? Teman lama kamu yang sudah lama tidak bertemu?”
“Oh iya, bu. Ada apa, ya bu?”
“Begini nak Ryan, maaf ibu baru dapat alamat dan nomor telepon ini tadi malam. Ada wasiat dari Jaka sebelum ia meninggal sepuluh hari yang lalu. Katanya ia punya sesuatu untuk kamu. Tapi ibu tak mau membukanya. Apakah nak Ryan. mau kemari?”
Setelah selesai menjawab suara pangilan telepon itupun, aku baru sadar apa yang telah terjadi. Aku langsung duduk lemas dan tak dapat berkata-kata lagi.-
(Pondok Petir, 23 Desember 2011)
___________________________________________________
DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H