Orang Jawa, orang Sumatera, Orang Kalimantan, Orang Sulawesi yang tinggal dan bekerja atau mencari nafkah di Jakarta mereka rata-rata semua pada Mudik atau pulang kampung. Mudik merupakan agenda rutin tahunan bagi kebanyakan orang Indonesia. Begitulah, mudik mengokohkan kembali akar identitas tiap orang pemudik, sekalipun ada pepatah ‘di mana kaki dipijak, di situ langit dijunjung’.
Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri dalam khasanah budaya Indonesia, jadi forum mudik bagi belasan juta orang, kebanyakan dari kota besar sebagai urbanis yang mencari rejeki, karir, dan sebagainya. Rata-rata semua mudik dilakukan setiap setahun sekali. Istilah ‘mudik’ sendiri adalah jika mereka berdomisili tetap di kota dan kampungnya di lain lokasi yang biasanya cukup jauh. Bagaimana dengan warga Jabodetabek dalam ber ‘mudik’? Warga masyarakat yang domisili tetapnya di Jakarta dan kota-kota sekitar, mulai dari Bogor, Parung, Depok, Tangerang atau Bekasi. Apakah mereka mudik juga?
Seorang warga pinggiran Betawi di Kampung Pondok Petir, Kelurahan Pondok Petir, Kecamatan Bojong Sari, Kota Depok, mengatakan. "Ini mah kampung gua… Eit dah, gua pulang kampung saban sari, bang," kata Syahroni dengan bangganya.
[caption id="attachment_132373" align="aligncenter" width="504" caption="Syahroni Warga Pondok Petir (foto Pribadi)"][/caption]
Menurut laman Wikipedia, Pondok Petir adalah sebuah kelurahan yang terletak di kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, Indonesia. Wilayahnya terletak di bagian Barat Kota Depok, di Utara berbatasan dengan Pamulang, Tangerang Selatan, bagian Timur berbatasan dengan Kelurahan Serua, di Selatan dengan Kelurahan Curug, dan di Sebelah Barat dengan Rawa Kalong, Kab. Bogor.
Tidak banyak yang tahu bahwa Pondok Petir awalnya adalah sebuah kampung yang bersebelahan dengan kampung Curug, di daerah ini banyak petani sayuran dan buah-buahan yang biasanya dikirim ke Pasar Kebayoran Lama atau ke Pasar Parung. Sebagian besar penduduknya berbahasa ‘betawi pinggiran’, logat betawi campur bahasa sunda daerah Bogor.
Pada siang terik itu, Bang Udin ditemani Markonih sedang duduk santai di atas sebuah bangku kayu pos ronda tepat di depan pintu gerbang kampung Pondok Petir. Kedua tukang ojek itu sedang bersenda gurau satu sama lain, membicarakan soal mudik dan kapan waktu lebaran 1 syawal 1432 H yang belum diputuskan oleh Pemerintah padahal puasa sudah berjalan selama 28 hari.
Bang Udin ngobrol soal mudik lebaran sama temannya itu, ”Kite kan orang kampung sinih, jadi ora perlu ngiri ame yang pada mudik. Rasanye sama aje koq lebaran di sonoh ame di sinih.” Markonih yang memakai kaos oblong bercelana kain biru dongker, ikut menyahut : “Iya bang, bujug dah…..kite mah mudik di kampung sendiri kapan, enak banget ya…...” Sebagai tukang ojek mereka sering mengantar orang pulang kampung, terutama para pekerja pabrik yang ada di daerah tempat mereka mangkal.
Kebiasaan Warga Kampung Saat Lebaran Seperti orang Betawi, warga Pondok Petir pun mengenal adanya budaya sungkem-sungkeman atau meminta maaf dari yang muda ke tua dan nyekar atau mengunjungi kuburan keluarga hanya untuk membersihkan dan mengirimkan doa. Lebaran di Pondok Petir sangatlah ekonomis dan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk transportasi karena sebagian besar penduduk yang tinggal disana saling terikat atau termasuk ke dalam keluarga.
”Maklum aje, orang tua kite pan gede di sinih, kite juga pada gede di sinih, anak kite gede juga gede di sinih. Gimane kagak banyak keluarganye,” kata Bang Udin yang memiliki tujuh orang anak, enam orang cucu dan seorang cicit.
Sementara Markonih tukang ojek yang juga buruh bangunan mengatakan, biasa orang kampung sini melakukan tahlilan sebelum lebaran untuk mendoakan keluarganya yang sudah meninggal dunia. Acara nyekar biasanya dilakukan sebelum bulan puasa dan pas hari lebaran.
[caption id="attachment_132374" align="aligncenter" width="504" caption="Nyekar Makam Orang Tua (foto pribadi)"][/caption]
Biasanya warga kampung Pondok Petir mengecat, membersihkan dan memperbaiki rumah sebelum Lebaran tapi itu pun tergantung dengan keuangannya. Suasana malam takbiran di Pondok Petir biasa-biasa saja tidak ada konvoi keliling, mereka hanya berdiam diri di dalam mesjid mengumandangkan takbir.
”Disini sekarang sepi, kagak kaya dulu ade anak-anak maen petasan atau ade pawai obor,” kata Markonih yang memang kelahiran Pondok Petir. Pada umumnya, warga Pondok Petir, selepas shalat Ied langsung keliling kampung mengunjungi para tetangga terutama para sesepuh kampung tersebut.
Ternyata tidak hanya malam takbiran saja yang sepi dalam dua tahun terakhir di Pondok Petir, tapi juga selama bulan puasa. Markonih menceritakan kenangan masa kecilnya ketika bulan puasa dan lebaran. Ketika itu dia mesti bangun tengah malam untuk keliling bersama teman-temannya sekitar dua puluh orang membawa alat tabuh untuk membangunkan sahur di kampung itu. Kemudian setelah sahur langsung ke mesjid yang berada di tengah kampung. Pada sore hari, menjelang berbuka puasa, anak-anak kecil sudah berumpul di lapangan untuk bermain petasan kecil dan juga petasan teko yang mereka beli dari pasar Parung. Pada malam takbiran, baru anak-anak berkeliling kampung dengan membawa obor yang warga setempat menyebutnya pawai obor. Biasanya pawai obor tersebut dipimpin oleh guru mengaji pesantren yang ada di wilayah tersebut. Kemudian setelah keliling kampung mereka berkumpul di lapangan Sanggong menyalakan petasan atau mercon gulungan untuk menyambut hari Raya Idul Fitri.
Sekarang, kebiasaan tradisional itu sudah luntur karena ada peraturan pemerintah daerah yang melarang menyalakan petasan. Karena itu, malam takbiran saat ini terasa sungguh sepi, kebanyakan anak-anak pergi warnet-warnet untuk bermain game online di sekitar daerah itu dan pergi ke pasar Parung atau ke Pamulang. Sekarang jamannya sudah beda, anak-anak lebih suka main komputer.
Hari raya apapun pasti identik dengan makanan khas, hal itu pun terjadi sama seperti budaya Betawi ketika menyambut lebaran. Di Kampung Pondok Petir makanan khas Betawi yaitu dodol, masih ada yang membuatnya. Namun, tidak seperti dulu, makanan tersebut saat ini sudah mulai jarang ada (langka menurut warga setempat), karena biaya pembuatannya sudah sangat mahal.
Akan tetapi ada kebiasaan umum bagi warga kampung itu yang masih dilaksanakan hingga saat ini, yaitu saling mengirimkan makanan berupa rantang berisi nasi dan lauk pauk kepada tetangga dan saudaranya. Bang Udin selalu mengirim penganan kepada saudaranya. Saat dia bertandang silaturahmi Lebaran ke rumah saudaranya itu, terkadang dia menyantap penganan kirimannya juga. Hal seperti itu bukan satu hal aib bagi mereka, justru semakin mengentalkan jiwa persaudaraan. Malah jadi bahan canda yang mengundang tawa semuanya. Katanya ‘borok sikutan’ sudah tidak berlaku lagi pada jaman sekarang. Ya, mereka memang spontan dan tidak suka berpretensi apapun di balik ucapannya. Mungkin hal itu karena sudah menjadi kebiasaannya.
Tidak lupa juga kebiasaan yang lainnya, yaitu memberikan uang kecil kepada anak-anak atau seperti angpauw menurut kebiasaan warga Tionghoa. Untuk angpauw itu, pada sekarang ini hanya disiapkan sekitar dua ratus ribu rupiah dan masing-masing anak hanya mendapatkan dua ribu rupiah s/d lima ribu rupiah. Kebanyakan angpauw itu hanya memberikan uang kepada anak kecil, mengingat anak remaja sudah bisa mencari uang sendiri.
[caption id="attachment_132375" align="aligncenter" width="504" caption="Syahroni bersama anaknya (foto pribadi)"][/caption]
Ada satu lagi kebiasaan warga kampung Pondok Petir yang hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat di daerah itu, yaitu berdarmawisata sekampung yang biasanya dilakukan pada hari ke-empat lebaran. Lebaran tahun ini mereka akan pergi tamasya ke Situ Patenggang, Bandung dengan menggunakan bus parawisata. Untuk kebiasaan yang satu ini para warga tidak perlu dipungut biaya lagi pada saat mereka berangkat, karena sudah dikumpulkan secara arisan sejak setahun lalu. Tahun lalu mereka tour ke Tangkuban Perahu dan Pemandian Ciater.
Lebaran menurut warga Pondok Petir, adalah saat kemenangan dimana umat muslim telah berhasil melewati ujian selama sebulan penuh untuk menahan rasa lapar, haus dan nafsu. Lebaran juga merupakan sebagai kesempatan untuk melangkah yang lebih baik dari yang lalu dan menekankan diri bagaimana cara bersikap. Mereka pun ternyata memaknai lebaran tidak perlu dengan hal-hal yang semuanya serba baru. Karena mereka lebih mementingkan niat dan perilaku, sehingga nilai-nilai yang didapatkan selama puasa tidak akan hilang.-
(Pondok Petir, 31 Agustus 2011)
Catatan : - Saban sari = setiap hari - Borok sikutan = istilah bila sudah memberi tapi diambil kembali.
___________________________________________________ DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda, datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H