Â
"Jokowi Sebut Asia-Afrika Tak Butuh Bank Dunia dan IMF" demikian judul yang dibuat Tempo.co, pada Rabu, 22 April 2015 12:46 WIB. Sebelumnya, hanya selisih sekitar enam menit, pada 22/04/2015, 12:40 WIB, Kompas.co menulis judul berita "Jokowi: IMF, Bank Dunia, dan ADB Tak Memberi Solusi"
Selain kedua media daring tersebut, masih banyak media lain yang membuat judul senada. Pelbagai judul 'gagah' tadi bersumber dari substansi pidato Presiden Jokowi saat membuka Konferensi Asia-Afrika di Jakarta Convention Center di Senayan, Rabu, 22 April 2015.
Bagian pidato Jokowi yang dianggap seksi oleh banyak kru media antara lain berbunyi begini: "Asia-Afrika harus bisa lepas dari ketergantungan pada institusi keuangan global. Pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF (International Monetary Fund), dan ADB (Asian Development Bank) adalah pandangan usang yang perlu dibuang."
Banyak kalangan menganggap ini adalah pidato terbaik Jokowi selama menjadi Presiden. Belum pernah sebelumnya juga sesudah, presiden berpidato setara apalagi lebih baik daripada pidato tersebut. Saya sendiri menilai, sejak pidato heroik inilah saatnya Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman neolib yang ganas dan telengas.
Tapi itu cerita dulu, pada 22 April 2015. Karena faktanya, pidato adalah satu hal dan kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi adalah hal lain. Keduanya bisa saja berbeda, bersebarangan atau bahkan bertabrakan total. Buktinya, setelah pidato tadi, toh menteri-menteri ekonomi Jokowi masih dan terus saja menerbitkan aneka kebijakan yang sarat dengan aroma neoliberalisme. Utang-utang baru terus dibuat hingga ribuan triliun rupiah; impor produk pangan ugal-ugalan membuat petani padi, tebu, dan garam menderita; pajak digenjot membabi-buta; subsidi belanja sosial dikurangi bahkan dicabut; harga-harga dikerek ke langit, dan lain-lainnya, dan seterusnya.
Sungguh, saat membuka Konfrensi Asia Afrika empat tahun silam, Jokowi begitu heroik. Ada semangat kebebasan dan pembebasan dalam tiap kalimatnya. Tidak mengherankan, Presiden diganjar standing ovation yang meriah dan berkepanjangan. Sayang, pidato heroik itu kini antiklimaks. Lunglai, tak berdaya ditelikung oleh dogma neolib dan mental inlander.
Anggaran super jumbo
Kemarin, 8 Oktober 2018, bisa disebut sebagai antiklimaks dari pidato heroik sang Presiden. Di Bali, sampai 14 Oktober ke depan, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tahunan bersama IMF dan WB, dan, untuk itu, negeri yang terkoyak oleh bencana susul-menyusul ini, merogoh kocek hingga Rp855,5 miliar.
Jumlah itu hanyalah anggaran patungan yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (APBN) dan Bank Indonesia. Masing-masing merogoh kocek Rp672,59 miliar dan Rp137 miliar. Oya, iuran dari Bank Indonesia sudah turun dibandingkan rencana semula yang Rp243 miliar. Ketua Satuan Tugas Bank Indonesia untuk Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, Peter Jacobs, menyebut total biaya tersebut di luar anggaran infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan acara.
Peter benar. Pasalnya, Kementerian Pariwisata mengalokasikan anggaran Rp7,7 miliar sebagai tambahan, sedangkan Kementerian Perhubungan Rp17 miliar. Dengan demikian, total anggaran mencapai Rp944,8 miliar. Namun,  Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pernah menyebut  Rp1,1 triliun itu hanya untuk biaya operasional, belum termasuk untuk keperluan lain, semisal uang untuk memperbaiki dan membuat infrastruktur.