Independen, tapi...
Sepertinya tidak mudah bagi kedua kubu dalam merayu sang tokoh. Pasalnya, kemarin (28 Agustus 2018) Rizal Ramli malah menyatakan akan independen dalam ajang Pilpres kali ini. Dia tidak ingin bergabung di salah satu kubu. Guna memberi gaung lebih luas, bapak tiga anak itu bahkan sengaja menggelar jumpa pers di satu caf di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, terkait pernyataannya ini.
Tapi, 'deklarasi' netralitas Rizal Ramli sepertinya bukan harga mati. Sebab, pada beberapa kesempatan, dia menyatakan bersedia membantu Paslon yang berjanji dan menunjukkan kesungguhan untuk 'memberi daging dan ikan kepada rakyat'. Dia bahkan mau habis-habisan jika sang Paslon bersungguh-sungguh mau menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
"Mohon maaf, saya menilai Capres-Cawapres yang bertarung di 2019 ini seperti tahu lawan tempe. Padahal rakyat maunya makan ikan, daging dan makan bergizi lainnya. Kalau ada Paslon yang bersedia memberi komitmen, bahwa mereka akan bekerja ekstra keras untuk menyejahterakan mayoritas rakyat, maka saya akan dukung secara all out," ungkapnya satu ketika.
Bagi mantan anggota Panel Tim Ahli Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini, ukuran paling gampang dari komitmen Paslon adalah, mereka mau meninggalkan ideologi neolib dalam membangun Indonesia. Fakta menunjukkan, mazhab neolib yang telah diterapkan selama puluhan tahun tidak bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara yang maju dan rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang berbasis utang hanya menimbulkan ketergantungan yang amat tinggi kepada negara-negara pemberi utang.
Pertanyaannya kini adalah, apakah rakyat Indonesia bakal menghukum yang bersangkutan dengan tidak mempercayainya seumur hidup? Emmm, sepertinya belum tentu juga. Rakyat Indonesia sudah lama dikenal sebagai pemaaf, gampang lupa, dan maaf, sering melakukakn kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.
Sejarah mencatat, para pemimpin dating dan pergi. Saat kampanye, mereka menebar janji-janji manis. Namun saat berkuasa, teramat sedikit dari janji-janji surga itu yang ditepati. Tapi, di sinilah hebatnya, toh rakyat Indonesia dengan gampang melupakan perlaku lancung yang bersangkutan.Â
Buktinya, pada ajang pemilihan berikutnya, tetap saja sebagian rakyat melabuhkan suaranya kepada si lancung tadi. Ampun dehhh.... (*)
Jakarta, 29 Agustus 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI