Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bara di Batubara, Apa Gunanya Ada Pemerintah?

6 Februari 2018   16:41 Diperbarui: 6 Februari 2018   17:57 2721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Lalu, coba tengok jalan-jalan raya. Lampu-lampu pengatur lalu lintas jadi buta. Lalu lalang kendaraan tak terkendali. Kemacetan, kekacauan, bahkan kecelakaan menyergap seluruh penjuru kota.

Lihat juga bagaimana kantor-kantor beroperasi. Ruangan kerja gelap-gulita dan panas karena lampu dan mesin pendingin udara tidak berfungsi. Kondisi ini terjadi pada semua kantor, termasuk kantor para petambang besar yang menikmati laba luar biasa dahsyat dari melonjaknya harga batubara. Juga, tentu saja, kantor Menteri Jonan, pejabat publik paling berwenang yang Senin kemarin sama sekali tidak mengambil keputusan.

Ingkari kesepakatan

Seorang kawan yang terjun di bisnis batubara membocorkan suasana jalannya rapat kemarin. Betapa Dirut PLN  Sofyan Basir kecewa berat dengan Jonan. Sebelumnya dia yakin betul, sebagai menteri Jonan akan bisa mengambil keputusan yang bijak. Sebuah keputusan sangat penting. Keputusan beraroma merah putih yang kental.

Sofyan sebelumnya yakin, sebagai menteri Jonan akan bekerja habis-habisan membantu bosnya yang Presiden NKRI yang berupaya menyejahterakan rakyat Indonesia. Caranya, antara lain, ya dengan memberi harga khusus untuk DMO batubara bagi pembangkit PLN dan Independent Power Producer (IPP).

Tapi ternyata Jonan benar-benar mengecewakan. Bukan saja bagi Sofyan, tapi juga bagi setiap rakyat yang cemas akan baying-bayang yang sangat mungkin terjadi. Sikapnya yang 'menggantung' persoalan ini sejatinya mengkhianati keputusan yang dibuatnya sendiri saat Raker dengan Komisi VII DPR. Saat itu, salah satu kesimpulan keputusan Raker adalah: "Komisi VII DPR RI SEPAKAT dengan Menteri ESDM RI untuk menetapkan HARGA KHUSUS untuk DMO batubara untuk pembangkit listrik PLN dan IPP." Huruf besar dan cetak tebal dari saya, agar siapa pun yang membaca artikel ini paham; ini soal serius yang sama sekali tidak boleh dianggap sepele.

Barangkali Jonan lupa dengan kesekapatan Raker yang dia tandatangani itu. Padahal, Raker belum lama diselenggarakan, yaitu 25 Januari 2018. Entah apa saja yang menjejali benak pak Menteri, hingga dia bisa melupakan kesepakatan yang amat penting, strategis, dan vital itu.

Apakah Jonan jadi silau dengan gemerlap laba yang dicetak para petambang besar batubara? Keuntungan yang mereka raup dari melonjaknya harga komoditas ini memang amat amat dahsyat. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau setara dengan Rp6,6 triliun!

Itu baru Adaro saja. Diperkirakan kocek 10 pengusaha besar batubara dari durian runtuh ini makin membekangkak saja setelah mendapat tambahan pendapatan sekitar Rp60Trilyun. Mereka inilah yang menguasai 60% produksi 461 juta ton pada 2017.

Di sisi lain, pendapatan Pemerintah dari sini dapat apa nyaris tidak berarti. Tambahan royalti yang diperoleh hanya Rp1,3 triliun. Ironis sekaligus tragis!

Sebagai BUMN, PLN yang menghasilkan listrik harus menghasilkan laba agar bisa membayar pajak dan menyetor dividen. Pada saat yang sama, ia juga dibebani seabreg tugas sosial. Listrik yang dihasilkannya menjadi salah satu infrastruktur utama guna memacu pertumbuhan ekonomi yang berujung meningkatnya kesejahteraan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun