Jadi, tanpa bermaksud kasar, mungkin ada baiknya Pemerintah berhenti mengajari Sofyan dan jajarannya dalam efisiensi perusahaan. Jangan sampai bak mengajari ikan berenang.
Akan jauh lebih elok, bila Pemerintah lebih menunjukkan sedikit saja keberpihakan dalam hal harga batubara khusus untuk DMO. Bukan hanya untuk kepentingan PLN. Tapi keberpihakan ini untuk menghasilkan listrik yang lebih murah dan terjangkau rakyat.
Toh, dengan memberikan harga khusus DMO tidak akan membuat perusahaan tambang batubara rugi apalagi sampai bertumbangan. Untung mereka selama ini sudah sangat besar, kok. PT Adaro Energy Tbk, misalnya, sampai triwulan III-2017 saja berhasil meraup laba sebesar US$495 juta, naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dihitung dengan kurs Rp13.500, keuntungan itu setara dengan Rp 6,6 triliun.
Nasib mujur serupa kurang lebih juga dinikmati lebih dari 3.000 perusahaan tambang batubara swasta lainnya yang aktif. Termasuk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, satu-satunya BUMN Tambang Batubara, itu pun 35% sahamnya telah dimiliki publik. Kontribusi perusahaan ini  hanya 6% atau sekitar 23 juta ton dari total 435 juta ton produksi nasional.
Ayolah, sudah saatnya Pemerintah menujukkan posisinya ada di mana. Mana mungkin listrik murah tapi harga batubara 'membara'? PLN mungkin tidak serta-merta jadi bangkrut karena harga DMO batubara tetap berkembara di langit. Tapi, cepat atau lambat, perusahaan akan dihadapkan pada pilihan, menaikkan harga listrik atau terkapar dihajar tingginya harga batubara.
Tahun lalu, kebutuhan batubara PLN 85 juta ton. Tahun ini, diperkirakan naik menjadi 89 juta ton dan naik lagi 99 juta ton pada 2019. Tren naiknya kebutuhan batubara seiring dengan bertambahnya kebutuhan listrik sebagai bagian dari insfrastruktur utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak bisa dibayangkan, berapa dana yang harus dialokasikan PLN pada 2026 ketika kebutuhannya mencapai 153 juta ton jika regulasi DMO khusus batubara tidak kunjung jelas 'jenis kelaminnya.'
Tapi ngomong-ngomong, kira-kira pada 2026 PLN masih ada tidak ya?
Jakarta, 1 Februari 2018
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H