Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Sebut Saya Aktivis, Saya Orang Pergerakan

29 Januari 2018   13:17 Diperbarui: 30 Januari 2018   00:19 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan sebut saya aktivis. Saya orang pergerakan," ujar ekonom senior Rizal Ramli, dalam obrolan santai, pekan silam, di rumahnya bilangan Bangka, Jakarta Selatan.

Senyum dan candanya yang sejak tadi bertaburan, tiba-tiba saja lenyap ditelan mimik serius. Wajahnya sedikit mengeras saat mengucapkan dua kalimat pendek tadi. Sepertinya, buat tokoh yang sejak mahasiswa sudah 'badung' ini, antara aktivis dan pergerakan adalah perkara serius. Keduanya punya perbedaan yang amat prinsipil.

Mengenakan kemeja biru dan celana panjang gelap, Rizal Ramli siang itu menerima pengurus Forum Jurnalis Muslim (Forjim) yang baru saja selesai menyelenggarakan Munas. Banyak hal yang Kepala Bulog periode 2000-2001 itu singgung terkait kondisi negeri. Dia bicara soal impor beras, impor garam, tentang demokrasi yang disebutnya sudah menjadi demokrasi kriminal, tentang Parpol, dan tentu saja, tentang peta politik-ekonomi mutakhir. Senyum dan tawa lepas berkali-kali meningkahi tanya-jawab. 

Nah, ketika obrolan masuk ke soal aktivis dan pergerakan inilah, dia menjadi serius. Meja makan dari kayu besar tempat kami duduk tiba-tiba terasa jadi 'lebih keras'. Untungnya angin siang yang sejuk mengalir deras melalui jendela-jendela kaca besar yang terbuka lebar. Dari langit-langit, baling-baling yang berputar perlahan pun ikut menyumbang dalam 'mendinginkan' suasana.

Kami, saya dan beberapa jurnalis muda yang penuh semangat, menyimak baik-baik 'wejangan' yang dia sampaikan. Maklum, yang sedang berbicara memang punya otoritas untuk itu. Dia bukan sekadar memaparkan teori-teori belaka atau pengalaman orang lain. Jejak hidupnya sarat dengan 'perlawanan' terhadap kesewenangan. Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, pada 1978 dia bersama Irzadi Mirwan, Adulrochim, dan Yosef Manurung menulis Buku Putih Perjuangan Mahasiwa ITB yang berisi kritik atas kebijakan ekonomi, praktik KKN dan otoriterianisme Orde Baru.

Dia juga menggalang kawan-kawannya menolak niat Soeharto yang bermaksud  kembali menjadi Presiden pada periode berikutnya. Hasilnya, kampus ITB diduduki tentara selama lebih dari tiga bulan. Dia sendiri diganjar 1,5 tahun di penjara Sukamiskin, Bandung. Di tempat yang sama itu pula, pada tahun 30an Soekarno mendekam karena menentang Belanda.

Setahun sebelumnya, bersama mahasiswa ITB lainnya, RR, begitu dia disapa, menggalang gerakan anti kebodohan (GAK). Gerakan yang dipicu fakta ada 8 juta anak tidak bersekolah itu akhirnya menjadi cikal-bakal lahirnya UU Wajib Belajar enam tahun beberapa tahun kemudian.

"Banyak orang yang modalnya cuma 2-3 kali ikut demo terus merasa menjadi aktivis. Mereka tidak membaca, tidak melakukan refleksi, tidak membuat analisis dan sintesa-antitesa. Tapi begitu dapat kursi, walau cuma komisaris BUMN atau staf khusus, langsung berubah menjadi penjilat nomor satu," papar Rizal Ramli, masih dengan wajah serius.

Menurut pria yang pada 1994 bersama Adnan Buyung Nasution memimpin demo besar melawan pembreidelan majalah Tempo, Detik, dan Editor ini, orang pergerakan tetap konsisten dengan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan. Orang pergerakan sikapnya tidak berubah, baik ketika di luar maupun masuk lingkaran kekuasaan.

"Saat di dalam kekuasaan, kalau berani kamu lawan. Kalau tidak berani karena takut kehilangan jabatan, sebaiknya kamu diam. Jangan malah ikut-ikutan menjadi penjilat atau pembela kesewenang-wenangan. Ini bukan sikap dan sifat orang pergerakan. Sayangnya, mereka yang mengaku aktivis justru banyak yang seperti itu," ungkap Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini.

Buat orang pergerakan, lanjut lelaki yang pernah jadi anggota tim Panel Ahli Ekonomi Perserikatan Bangsa Bangsa ini, jabatan dan kekuasaan adalah alat untuk memassifkan dan mengefektifkan perjuangan. Mereka berani berbeda dengan arus besar penyimpangan. Bahkan ketika harus memilih, orang pergerakan lebih suka menanggalkan jabatan dan kekuasaannya ketimbang harus bertabrakan dengan nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun