Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Impor Beras, Kanker Stadium 4, dan Jempol Kaki

22 Januari 2018   13:38 Diperbarui: 22 Januari 2018   13:44 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Edy Mulyadi*

Hari-hari ini adalah hari-hari yang amat menegangkan bagi petani padi Indonesia. Pasalnya, seperti kata Menteri Perdagangan Engartiasto Lukita, 500.000 beras impor bakal masuk pada pekan keempat Januari ini. Kalau rencana ini mulus, maka petani kita tinggal menghitung hari menuju sempurnanya penderitaan.

Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran ekstra. Petani nyaris tidak mungkin kaya. Pangkalnya, kebijakan perberasan dari para pengelola negeri cenderung tidak berpihak kepada petani. Contohnya, ya sekarang ini. pemerintah berencana impor 500.000 ton beras justru menjelang panen raya. Jadi, kalau petani sanggup menjalani profesi (takdirnya?) selama puluhan tahun, tak pelak lagi, itu karena mereka punya daya tahan ekstra.

Lalu bagaimana dengan kesabaran ekstra? Sebagai rakyat, wajar dan bisa dipahami jika mereka berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan tanya soal kerja keras, petani kita sudah bekerja sangat keras. Maksud saya, memperbaiki nasib di sini adalah dengan menyuarakan aspirasinya. Jadi wajar dan normal banget kalau petani menolak beras impor.

Sejatinya, teriakan petani yang menolak beras impor itu sangat nyaring. Ditambah dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah sangat gemuruh. Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor beras tadi.

Degil dan arogan

"Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya," kata Mendag Enggar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/1) silam.

Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa. Bagaimana mungkin seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang? Kalau Enggar, misalnya, cuma seorang tukang semir sepatu di terminal bus, dia bebas saja menentukan semir merk tertentu yang menjadi pilihannya. Orang lain dilarang protes. Kalau konsumen tidak suka dengan merk semir yang digunakannya, mereka boleh mencari tukang semir sepatu lainnya.

Tapi ini Enggar kan menteri perdagangan. Keputusan impor beras yang diambilnya sudah pasti bakal memukul petani. Mosok dia bisa berkata searogan itu? Memang petani dan rakyat Indonesia boleh dan bisa memilih Mendag lain kalau tidak suka dengan Enggar? Mikir dikit lah...

Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama sekali tidak didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi  VI DPR, Kamis (18.01) pekan silam, dia mengaku belum mengantongi data beras secara lengkap. "Masih banyak gudang yang belum melapor," ujarnya.

Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan. Atau, jangan-jangan seperti diduga banyak pihak, impor beras hanya untuk mengejar komisi para pemburu rente yang berkolaborasi dengan penguasa culas? Satu hal yang pasti, impor beras kali ini, sekali lagi, menunjukkan bagaimana para pejabat publik kita mengelola negara secara serampangan.

Bukti lain betapa serampangannya mereka yang diamanahi jabatan publik, adalah fakta Badan Urusan Logistik (Bulog) menyiapkan Rp15 triliun untuk mengimpor 500.000 ton beras. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti duit sebanyak itu untuk mendatangkan beras  dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan.

Dengan matematika sederhana, artinya beras yang diimpor itu harganya Rp30.000/kg. Bukan main... Dagelan model apa lagi yang tengah dipertontonkan? Tidakkah cukup kalian menyakiti batin dan memorakporandakan dapur para petani? Mengapa masih harus ditambah dengan pamer kedegilan yang amat absurd? Tidakkah ada secuil empati kalian terhadap petani kita?

Bisa sejahterakan petani

Angka-angka itu memang sungguh tidak masuk akal. Bayangkan, kalau saja Rp15 triliun itu dialokasikan untuk membeli padi petani yang sebentar lagi panen, betapa sejahteranya petani kita. Tentang harga beras yang belakangan ini terus naik, itu lebih disebabkan oleh permainan para mafia beras. Mereka sengaja 'menggoreng' pasar beras sedemikian rupa, untuk menimbulkan kesan terjadi kelangkaan. Dengan begitu, izin impor pun keluar. Selanjutnya para mafia kartel bisa kembali berpesta-pora.

Usai rapat koordinasi pembahasan HPP beras di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (4/1), Djarot mengatakan, stok beras Bulog di awal 2018 mencapai hampir satu juta ton. Dia memperkirakan, stok beras Bulog tersebut cukup untuk menutup kebutuhan rastra atau bantuan sosial untuk empat bulan lebih. Artinya, tidak ada alasan Pemerintah ngotot mengimpor beras menjelang panen raya.

Carut-marut penangangan perberasan nasional membuat Kepala Bulog keenam periode 2000-2001 Rizal Ramli merasa geram. Dia minta impor beras dibatalkan. Kalau pun tidak mungkin dibatalkan, maka beras impor tadi seluruhnya harus masuk gudang-gudang Bulog. Setelah itu, karena musim panen telah tiba, Bulog harus aktif membeli padi/petani petani.

Rasanya terlalu lelah mengeritik para penguasa. Semua kritik dan saran tadi bak angin lalu di telinga dan hati mereka. Para pejabat publik terlalu asyik dengan fantasi dan imajinasi masing-masing. Mereka tidak peduli terhadap dampak dari semua itu. Jangankan dampak buruk bagi rakyat, efek negatif yang mungkin terjadi kepada Presiden selaku bos pun, mereka tidak peduli. Soal rakyat jadi tidak suka kepada Presidennya, itu bukan urusan para menteri. Soal elektabilitas Presiden bakal tergerus pada 2019, jangan-jangan memang itu tujuannya.

Presiden cuek?

Sayangnya, Presiden Jokowi pun sepertinya cuek saja dengan fenomena ini. Padahal mustahil Jokowi tidak tahu, bahwa masalah terberat Indonesia dalam tiga tahun pemerintahannya adalah ekonomi. Di tangan para menteri neolib, pertumbuhan ekonomi kita tidak beringsut jauh dari 5%. Jumlah pengangguran juga cenderung naik. BPS melaporkan, Agustus 2017 yang dirilis November 2017, jumlah pengangguran naik 100.000 orang menjadi 7,04 juta.

Sekadar informasi, kriteria bekerja versi BPS sama sekali berbeda dengan kriteria awam. Menurut BPS, bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan paling sedikit satu jam secara tidak terputus selama seminggu yang lalu. Jadi, menurut BPS, kalau anda bekerja sejam seminggu yang lalu, maka anda bukanlah pengangguran. Seru, kan?

Di tengah melambungnya angka pengangguran, tren deindustrialisasi, dan terjunnya daya beli, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang neolib itu justru sibuk menggenjot pajak, mengulik Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari rakyat kelas bawah, dan memangkas anggaran sosial di APBN yang berdampak naiknya harga-harga. Dia juga terus saja membuat utang baru. Jumlahnya benar-benar nyaris menyentuh Rp4.000 triliun.

Celakanya lagi, utang-utang baru yang sebagian berupa obligasi (bond) yang dibuat Sri selalu berbunga sangat tinggi. Pengamat ekonomi politik dari Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra menghitung, kerugian yang diderita Indonesia akibat utang-utang berbunga supertinggi mencapai Rp121 triliun dan US$6,7 miliar. Kerugian itu terjadi hanya dalam periode 2006-2010 ketika Sri menjadi Menkeu era SBY. Artinya, jumlah tersebut belum termasuk utang baru yang dibuat dalam dua tahun lebih dia menjadi Menkeu Jokowi.

Pada saat yang sama, dia justru menggelontorkan mega subsidi bagi lima industri sawit Rp7,5 triliun. Entah apa yang ada di benak Sri hingga hal ini bisa terjadi. Padahal, pada saat yang sama petaka gizi buruk di Papua telah merenggut puluhan nyawa anak-anak tak berdosa. Seandainya sebagian dari Rp7,5 triliun itu untuk anggaran pelayanan kesehatan penduduk Papua...

Tapi, sekali lagi, sayangnya, Jokowi bak abai dengan fakta-fakta miris ini. Reshuffle kabinet jilid tiga lima hari lalu, hanya membongkar-pasang Menteri Sosial dan Kepala Staf Presiden. Sementara para menteri ekonomi yang jadi biang masalah, justru sama sekali tidak disentuh. Ibarat sakit kanker stadium empat, kok malah mengolesi balsem jempol kaki. (*)

Jakarta, 22 Januari 2018

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun