Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Beras dan Petani, Lumbung Suara yang Terbaikan

26 Desember 2017   11:12 Diperbarui: 26 Desember 2017   12:03 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak pelak lagi, beras adalah komoditas strategis yang amat penting di Indonesia. Komoditas ini menjadi makanan pokok sebagian besar dari sekitar 260 juta rakyat Indonesia. Begitu pentingnya beras dan petani, membuat mendiang Presiden Soeharto sangat serius dalam menanganinya.

Pak Harto sadar betul, beras adalah komoditas strategis yang bisa berpengaruh terhadap kelangsungan pemerintahan. Di era Soeharto pulalah, Indonesia pernah swasembada beras dan menyabet penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1986. Padahal sebelumnya, Indonesia adalah pengimpor beras yang jumlahnya cukup besar, sekitar 2 juta ton/tahun.

Pada eranya, rakyat bisa membeli beras karena harganya benar-benar terjangkau. Di sisi lain, walau tidak menjadi kaya, petani bisa tetap eksis. Buat mereka, menanam padi masih memberikan sedikit keuntungan untuk hidup dan membiayai sekolah anak-anak.

Hal serupa juga dialami sejumlah negara Asia lain. Jepang, misalnya. Bargaining position petani Jepang sangat baik. Mereka bahkan bisa memaksa LDP sebagai partai berkuasa untuk meneken semacam kontrak politik yang isinya melindungi petani Jepang. Pemerintah menetapkan harga jual produk petani dengan tarif sekitar 20% di atas ongkos produksi. Itulah sebabnya petani di Jepang hidupnya relatif lebih baik, lebih makmur. Mereka bahkan setiap tahun bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Sebaliknya, nasib petani di Idonesia kini kian menyedihkan. Padahal, kalau mau Pemerintah bisa mengangkat kesejahteraan petani melalui serangkaian kebijakan yang lebih berpihak. Selain Jepang, Malaysia dan Vietnam juga telah melakukannya.

Tekanan mafia

Di luar soal harga paska panen yang hampir selalu jatuh, kebijakan impor produk pangan juga sangat memukul petani. Godaan dan tekanan untuk mengimpor beras, misalnya, teramat besar. Tidak tanggung-tanggung, pernyataan ini datang langsung dari Presiden Jokowi.

Saat meresmikan dimulainya pembangunan Waduk Keureutoe di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, Maret 2015, Jokowi mengakui dirinya kerap mendapat desakan untuk membuka keran impor beras besar-besaran. Biasanya, dalih yang dikedepankan adalah, impor dilakukan sebagai solusi mengatasi kenaikan harga beras. Meski demikian, dia mengaku tetap mampu menepis tekanan itu karena yakin impor bukanlah satu-satunya solusi terbaik. (https://www.merdeka.com/uang/jokowi-akui-kerap-dapat-desakan-buka-keran-impor-beras.html?utm_source=Detail%20Page&utm_medium=Berita%20Terkait&utm_campaign=Mdk-Berita-Terkait)

Bayangkan,  betapa hebatnya mafia produk pangan negeri ini, hingga Presiden pun mendapat tekanan. Kekuatan seperti apakah yang mampu menekan Presiden sedemikian rupa?Tidak mengherankan bila para menteri dan pejabat terkait banyak terkulai menghadapi dahsyatnya kekuatan mafia impor produk pangan tersebut.

Rizal Ramli sudah lama mencium adanya kekuatan para mafia impor yang bergabung dalam berbagai kartel produk pangan. Para mafia itu mendesak pejabat berwenang memberlakukan kebijakan kuota impor. Akibatnya, pemainnya hanya terbatas dan dikuasai kalangan mereka. Dari sini mereka bisa dengan bebas menentukan harga jual di dalam negeri sesuai yang dikehendaki. Dengan menyisihkan sebagian dari keuntungan superjumbo itulah, mereka menyogok pejabat terkait untuk melanggengkan sistem impor.

Rizal Ramli yang pernah menjadi penasehat ekonomi Perhimpunan Bangsa Bangsa (PBB) bersama beberapa pemenang hadiah Nobel, sudah lama dia mendesak agar Pemerintah segera menghapus sistem kuota impor dan menggantnya dengan sistem tarif. Lewat cara ini, pelaku impor terbuka bagi siapa saja. Negara pun memperoleh penerimaan dari bea masuk dan pajak-pajak impor. Selain itu, timing impor pun bisa disesuaikan dengan kebutuhan sehingga tidak merugikan petani lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun