Menekan harga pembelian listrik swasta memang jadi hal krusial bagi PLN. Bayangkan, tiap penurunan US$ cents 1/KwH bakal menghemat fulus PLN hingga Rp1 triliun/1.000 KwH. Padahal, swasta dapat jatah membangun 25.000 MW dalam program listrik 35.000 MW sampai 2019. Artinya, PLN bakal bisa menekan biaya dari sini hingga Rp25 triliun/tahun.
Mark up dan KKN
Sekitar 17 tahun silam, apa yang kini dilakukan PLN juga pernah terjadi. Waktu itu, Menko Perekonomian Rizal Ramli yang menjadi tokoh sentral penurunan harga beli listrik PLN dari swasta.Â
Semua bermula dari upaya Presiden Soeharto mengundang swasta untuk masuk ke bisnis pembangkit listrik untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan tenaga listrik.
Kebijakan ini melahirkan sedikitnya 27 proyek listrik swasta. Sejumlah perusahaan listrik kelas dunia terlibat di dalamnya. Antara lain dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Jerman. Guna memuluskan binsis, perusahan-perusahaan asing itu menggandeng keluarga dan atau kroni Soeharto.
Pada 1996 mereka meneken PPA dengan PLN. Tapi harga jual energi listriknya ternyata sangat gila-gilaan, antara US$ cents 7-9 per kWh. Padahal, harga listrik swasta di negara-negara Asia lainnya waktu itu cuma sekitar US$ cents 3,5 per kWh.
Jika berpegang pada kontrak-kontrak tersebut, PLN pasti terkapar. Kemampuan keuangan PLN saat krismon sangat jeblok. Pada semester pertama 2000 saja, PLN rugi Rp11,58 triliun. Tahun 2001, kerugian PLN diproyeksikan melambung hingga Rp24 triliun. PLN pun melempar handuk putih, menyerah.
Begitu diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian pada Agustus 2000, Rizal Ramli langsung menjadikan pembenahan listrik swasta sebagai prioritas utama. Kemelut listrik swasta berpotensi menambah beban utang Indonesia US$80 miliar lagi. Padahal, karena krismon utang luar negeri Indonesia tiba-tiba melonjak drastis, mencapai US$160 miliar. Secara teknis Indonesia bisa bangkrut.
Menyadari gawatnya persoalan, Rizal Ramli bergerak cepat. Dia sadar betul, ini tidak akan mudah. Pasalnya, harga listrik swasta yang menjulang terjadi karena mark up dan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Â
Perusahaan-perusahaan listrik multinasional tidak gratis memberi saham kosong kepada keluarga dan kroni Cendana. Mereka minta harga jual listriknya jadi jauh lebih tinggi ketimbang standar internasional.
Pada mark up dan KKN inilah titik konsentrasi diarahkan. Dengan mengamputasi biaya-biaya tersebut, otomatis akan diperoleh harga jual listrik swasta yang sesuai standar internasional.