Membangun infrastruktur juga tidak harus melulu mengandalkan utang. Ada cara kreatif yang bisa ditempuh. Di antaranya menggunakan sistem Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operate (BOO).
Buat banyak kalangan, menggunungnya utang luar negeri  sudah sampai tingkat mengkhawatirkan. Guna mengatasinya, pemerintah tidak harus mengalokasikan anggaran supergede di APBN untuk membayar cicilan, bunga, dan pokok utang. Pada 2017 saja, alokasi untuk ini mencapai Rp486 triliun. Rp 221 triliun di antaranya hanya untuk membaya bunga utang.  Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang 'cuma' Rp387 triliun.
Betapa seriusnya Ani dalam menyenangkan kreditor juga tampak dari alokasi Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang pada APBN 2018. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!
Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi utang. Di antaranya, dengan mekanisme debt to nature swap. Di Eropa dan negara-negara maju, keasadaran akan lingkungan hidup sudah bagus. Indonesia bisa menegosisasi utang-utangnya untuk ditukar dengan pelestarian hutan yang menjadi paru-paru dunia.
Atau, kalau berani, Pemerintah bisa meniru Presiden Argentina Nestor Kirchner. Saat itu, utang negara hingga US$178 miliar. Rasionya terhadap PDB mencapai 142%. Dia minta penjadwalan kembali pembayaran utang  dan bunga senilai US$84 miliar selama tiga tahun. Sedangkan dana yang selama ini untuk membayar utang digeser ke dalam negeri. Ditambah dengan berbagai kebijakan revolusioner di bidang hukum, perpajakan dan ekonomi kerakyatan, Kirchner mampu menerbangkan ekonomi Argentina rata-rata 9% dalam kurun 2003-2007.
Sayangnya, semua resep persneling dua, tiga, empat, sampai lima itu nyaris dipastikan tidak bakal ditempuh tim ekonomi Jokowi. Mereka penganut mazhab neolib sejati. Padahal, berbagai  resep tadi tidak ditemukan dalam 'panduan' berekonomi neolib. Orang-orang ini  sudah teramat lama terjebak pada school of thinking. Apa-apa yang tidak diterima dari sekolahan (Barkeley dan para gengnya), pasti bakal ditolak.
Kesimpulannya, ya sudah, lah. Cukup pakai gigi satu, dengan konsekuensi ekonomi tumbuh di kisaran 5% saja. Mau coba-coba ngebut 100 km/jam dengan gigi satu, tidak mungkin. Kalau dipaksakan, mesin pasti jebol. Konyol! (*)
Jakarta, 13 September 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H