Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Pajak Tebu, Potret Kalap Kaum Neolib

10 Juli 2017   17:04 Diperbarui: 10 Juli 2017   17:21 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp



Pemerintah kalap! Penyebabnya penerimaan perpajakan jeblok. Padahal, pemerintah perlu dana superjumbo untuk mengeksekusi banyak proyek infrastruktur yang ambisius.

Buat menggenjot penerimaan pajak inilah, antara lain, pekan silam Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menerbitkan beleid pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada gula tebu. Inilah yang dimaksud dengan pemerintah kalap pada pembuka tulisan ini.

Di negeri ini, yang namanya petani secara umum bisa disebut sebagai kelompok yang paling mengenaskan hidupnya. Mereka bekerja keras, ekstra keras. Tapi, acap kali hasil produksi petani tidak mampu mengangkat kesejahteraan. Indikatornya nilai tukar petani (NTP) terus turun. Jangankan menjadi kaya raya, untuk sekadar mencukup kebutuhan secara layak saja sudah termasuk barang langka.

Nilai tukar petani menjadi salah satu indikator kesejahteraan petani. Ini adalah rasio indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksi naik lebih besar daripada kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya. Sebaliknya, NTP < 100 berarti petani mengalami defisit. Pendapatan petani turun, lebih kecil ketimbang pengeluarannya.

Februari silam, Biro Pusat Statistik (BPS) merilis nilai tukar petani nasional sebesar 100,33%. Angka ini turun 0,58% ketimbang Januari yang 100,91%. Bulan berikutnya, turun lagi menjadi 99,95%. Penurunan ini mengkonfirmasi kian rendahnya daya beli petani sejak awal tahun. Sekadar mengingatkan saja, pada Januari 2017, nilai tukar petani mencapai 100,91%.

Nah, dengan fakta bahwa kesejahteraan petani yang terus merosot, bagaimana mungkin tanpa ba-bi-bu Menkeu mengenakan PPN 10% bagi gula tebu. Ini kan sama saja sudah jatuh tertimpa tangga dan dilindas bajaj pula.

Yang ajaib, alasan yang disorongkan pemerintah dalam menjustifikasi pengenaan PPN tadi adalah, untuk kebaikan petani tebu. Di sisi lain pemerintah mengakui PPN akan membuat pendapatan petani turun. Dengan dikenai PPN ke depan petani harus meningkatkan produktivitas. Artinya, petani dilecut agar lebih efisien. Aneh!

Sepertinya ada yang salah dari pola pikir Menkeu. Kalau niatnya mau membuat petani meningkatkan efisiensi dan produktivitas, ya semestinya justru harus memberi berbagai insentif dan bantuan. Misalnya, memberi kredit produksi dengan bunga supermurah, membantu penyediaan bibit kualitas unggul, memberi kesempatan petani membeli pupuk dengan harga subsidi, dan lainnya dan lainnya.

Adalah tidak masuk akal, di tengah kian merosotnya kesejahteraan petani tebu, pemerintah justru memberi beban dengan pengenaan PPN. Lagi pula, kalau, katakanlah, PPN 10% dimkasudkan untuk memaksa petani meningkatkan efisiensi dan produktivitas, kenapa cuma 10%? Kenapa pajaknya tidak sekalian 50% atau bahkan 90% saja?

Sesat pikir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun