Masih soal pemotongan anggaran, mari kita telisik anggaran apa sajakah yang dipangkas. Yup, benar. Gunting tajam anggaran memotong berbagai alokasi dana untuk pembangunan dan subsidi sosial. Berbagai subsidi langsung dikurangi atau bahkan dihapuskan. Dampaknya, beban rakyat kian berat dan mencekik leher. BBM naik, listrik naik, gas naik. Begitulah.
Di mata kaum neolib, subsidi adalah pendistorsi ekonomi. Subsidi dalam barang haram yang amat tabu diterapkan. Karenanya subsidi harus ditekan serendah mungkin, jika bisa mencapai titik nol. Singkirkan jauh-jauh tangan pemerintah dari kegiatan ekonomi. Serahkan saja segala sesuatunya pada mekanisme pasar. Biarkan pasar yang kelak akan mencari ekuilibriumnya sendiri. Kalau karena doktrin ini rakyat terkapar, itu adalah risiko yang harus dibayar. Titik!
Pertanyaan berikutnya, kenapa harus rakyat yang dijadikan korban? Mengapa yang dipangkas bukan anggaran untuk membayar bunga dan pokok utang? Sampai berapa lama APBN harus menggelontorkan duit sekitar Rp 60 triliun per tahun untuk membayar bunga obligasi Bantuan Likuidtas Bank Indonesia (BLBI) akibat bank-bank dirampok para pemiliknya sendiri?
Sekarang bandingkan dengan alokasi duit yang disiapkan untuk membayar utang di APBN 2016 dan 2017. Pada APBN 2017, ada Rp 221 triliun untuk membayar utang! Dahsyat kan? Sisanya untuk membiayai belanja rutin pemerintah yang terus saja menggembung. Padahal untuk itu, rakyat diperas dengan kenaikan harga berbagai barang dan jasa kebutuhan dasar serta pajak yang kian mencekik.
Pemotongan anggaran pada APBN pastinya bakal mempersempit ruang gerak perekonomian Indonesia ke depan. Akibatnya banyak program pembangunan infrastruktur yang mangkrak. Salah satu yang hampir pasti akan mangkrak adalah program andalan Presiden Jokowi, membangun Poros Maritim.
Sejatinya, kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) yang Ani lakukan senafas dengan kebijakan Bank Dunia di negeri-negeri yang sedang krisis di Eropa Barat. Hasilnya justru memperburuk situasi ekonomi dalam negeri mereka. Tapi begitulah mazhab neolib. Tidak peduli rakyat di dalam negeri berdarah-darah, yang penting para majikan asing tetap happy.
Mitos tax amnesty
Barat dan media mainstream sukses mem-framing Ani sebagai tokoh di balik terdongkraknya penerimaan pajak. Lewat program ini dia dinilai bmenjaring duit orang kaya Indonesia. Benarkah demikian?
Realisasi penerimaan perpajakan 2016, penerimaan pajak nonmigas hanya Rp 997,9 triliun. Artinya, turun 4,9% dibandingkan dengan realisasi penerimaan 2015 yang Rp 1.061 triliun. Angka kekurangan ini makin mengerikan jika merujuk pada target yang dipatok, yaitu yang sebesar Rp 1.355 triliun. Ini berarti dia hanya mampu meraih 81,5% dari target.
Memang, secara total sampai akhir 2016 pajak yang berhasil ditangguk mencapai Rp 1.105 triliun. Tapi jangan lupa, angka itu diperoleh setelah menjaring Rp 107 trilun dari pengampunan pajak. Tanpa tax amnesty, penerimaan pajak ya jeblok, lah! Bahkan setelah ditambah dengan pengampunan pajak, penerimaan negara tetap saja jauh di bawah banderol yang Rp 1.355 triliun tadi.
Namun bicara soal pengampunan pajak, ada beberapa hal yang perlu diluruskan. Pertama, tax amnestybukanlah karya Ani. Ia buah gagasan dari Menkeu sebelumnya, Bambang Brojonegoro. Jadi, kalau mau menghadiahi pujian seputar program tax amnesty, yang paling tepat alamatkanlah kepada Bambang kini menjadi Menteri BPN/Kepala Bapennas.