Mohon tunggu...
edy mulyadi
edy mulyadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

masih jadi jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Ahok dan Polah Transaksional Parpol

17 September 2016   04:13 Diperbarui: 17 September 2016   04:34 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tidak pada tempatnya Parpol bermain-main. Ini nasib lebih dari 9 juta penduduk Jakarta. Lagi pula, siapa pun tahu, bahwa Pilkada DKI 2017 adalah etalase Pilpres 2019. Terlalu mahal bayaran yang harus dikorbankan, jika mereka masih saja abai terhadap soal ini hanya karena kepentingan pragmatis dan transaksional Parpol.

Pragmatis dan transaksional

Warning ini benar-benar serius kita sampaikan kepada para pimpinan Parpol selaku pemilik ‘tiket’. Bukankah Pilkada adalah hajatannya para parpol? Sehebat dan sebersih apa pun sang calon, kalau tidak mengantungi tiket dari Parpol tetap saja tidak bisa ikut berlaga di Pilkada.

Sayangnya, sudah bukan rahasia lagi, dengan pertimbangan kepentingan pragmatis, para petinggi Parpol itu bisa dan biasa melakukan tindakan transaksional. Apalagi fakta sejarah menunjukkan, sejatinya partai-partai itu tidak memiliki landasan ideologis, visi, dan karakter yang jelas. Berkali-kali polah mereka selalu saja diwarnai deal-deal yang bermuara pada bagi-bagi uang dan kekuasaan.

Tidak mengherankan kalau di antara mereka ada istilah uang calon boneka, uang mundur, uang setengah kalah, sampai uang kalah. Semua ada harga dan jumlahnya. Untuk kepentingan pragmatis dan transaksional, mereka bisa dan biasa melakukan praktik-praktik semacam ini.

Seperti sebuah oprkestra, polah transaksional ini diiringi dengan laku tak sedap lembaga-lembaga survei dan konsultan politik. Lewat rilis, katanya, hasil surveinya, mereka yang sengaja mengangkat calon-calon abal-abal ke atas pemukaan sebagai kandidat potensial melawan petahana. Masyarakat digiring dan dijejali opini, bahwa si kepala daerah ini dan itu, berpeluang memenangi Pilkada DKI. Jika skenario busuk ini sukses, para Cagub ecek-ecek itu kelak bakal dengan amat mudah digilas. Ujung-ujungnya si petahana kembali bertahta.

Katanya mau menjadikan Jakarta lebih baik, Jakarta yang beradab, Jakarta yang memanusiakan penduduknya? Katanya tidak mau gubernur sangar, ganas, dan beringas…? (*)

Jakarta, 16 September 2016

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun