Dede pernah mengeluarkan pernyataan yang menggegerkan publik. “Kantongi saja nasionalismemu itu.” Pernyataan kelewat berani tersebut disampaikannya saat diskusi tentang divestasi PT Indosat di sebuah stasiun televisi swasta bersama, antara lain, ekonom Ichsanuddin Noorsy.
Saat menjadi saksi ahli pada sidang Mahkamah Konsititusi (MK) yang tengah menyidangkan gugatan atas UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, dia juga menyatakan, "Kantongi dahulu nasionalismemu. Tidak ada tempat lagi bagi nasionalisme dan kedaulatan ekonomi di tengah terang benderangnya arus globalisasi,” ujarnya lantang sebagai tanggapan kepada para ekonom pengritik pemerintah yang disebutnya ekonom nasionalis yang berpikiran sempit dan picik. Luar biasa!
Sebagai antek neolib, dia sukses mengeksekusi berbagai kebijakan yang menguntungkan majikan asingnya saat menjadi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Juni 2012. Parkirnya Dede di BKPM menjadi jaminan terakomodasinya kepentingan para investor asing di Indonesia.
Saat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 15 Desember 2004, Pemerintah RI perlu mengantisipasi agar hal serupa tidak terjadi pada UU No. 22/2001 tentang Migas. Maklum, saat itu UU Migas tengah dimohonkan pembatalannya di MK. Untuk itu, pemerintah mengutus Rizal Malarangeng, Moh Ikhsan, dan Chatib melobi Ketua MK Jimly Assidqie agar UU Migas tidak bernasib sama. Gerilya itu dengan benderang, menunjukkan betapa Dede dan rekan-rekannya sangat berpihak pada liberalisasi perekonomian.
Begitulah potret pasangan Darmin-Dede. Semua kisah di atas itu sudah menjadi informasi publik yang mudah diakses. Tidak sulit bagi Presiden untuk menelusurinya. Akan jadi pertanyaan besar, bagaimana mungkin Jokowi, kelak, akan memasukkan mereka yang punya rekam jejak negatif itu dalam jajaran tim ekonominya?
Sudah saatnya Jokowi bertindak sebagai The Real President. Presiden yang mendapat mandat konstitusi. Lewat konstitusi pula Presiden mengantongi hak prerogatif dalam menyusun kabinetnya. Jokowi tidak boleh lagi berjudi dengan nasib bangsa ini dengan memasang figur-figur yang sama sekali tidak layak, apalagi penuh catatan merah, di jajaran tim ekonomi.
Pak Presiden, kami percaya Anda bisa! (*)
Jakarta, 6 Juli 2015
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)