Kalau kita mau agak bawel sedikit, UKP4 di bawah Kuntoro adalah sebuah ironi. Lembaga ini antara lain bertugas mengawasi kinerja kementerian dan lembaga (K/L). UKP4 harus bisa menjaga dan memastikan terjadinya sinkronisasi dan konsistensi program/proyek yang termasuk dalam prioritas nasional presiden. Jangan sampai para pembantu presiden asyik dan sibuk dengan agenda dan targetnya masing-masing. Maklum, mereka datang dari multipartai.
Namun dalam praktiknya, sepertinya justru UKP4 yang harus dievaluasi. Dia dan jajarannya selama ini hanya mengukur kinerja kementerian dan lembaga atas target-target yang dibebankan kepada mereka. Paling tidak, hanya inilah yang disodorkan kepada publik melalui media massa.
Sebagai unit kerja yang memperoleh fasilitas dan dukungan penuh dari Presiden (baca; APBN), seharusnya UKP4 bisa memberikan kontribusi lebih. Misalnya, menghasilkan kajian  sekaligus solusi terhadap masalah-masalah strategis secara cepat dan tepat yang dinilai berpotensi menghambat atau mempercepat proses tata-kelola pemerintahan. Hasil kajian itulah yang kemudian disampaikan kepada Presiden. Dari sini selanjutnya Presiden memberikan instruksi kepada para pembantunya untuk meningkatkan kinerja mereka.
Sayang sekali, sejauh ini publik memang nyaris tidak mendengar capaian-capaian Kuntoro dalam memimpin UKP4. Secara periodik rakyat hanya disodori merah-birunya rapor kementerian dan lembaga tanpa tahu lebih banyak sisi mana saja yang jeblok, di bawah banderol, standar, atau memuaskan (kalau ada?).
Rekam jejak Kuntoro sejauh ini biasa-biasa saja, jauh dari cemerlang. Padahal, karirnya di pemerintahan terbilang panjang dan cukup lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum  (1993-1997),dua kali Menteri Pertambangan, yaitu pada  Kabinet Pembangunan VII (1998) dan di Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Direktur Utama PLN (2000), serta Kepala Badan Pelaksana - Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2005).
Mungkin mestinya, sebelum lengser, SBY membentuk badan khusus lagi, yang bertugas untuk mengevaluasi dan menilai kinerja UKP4. Gagasan ini bukannya mustahil lho. Bukankah Presiden yang satu ini sangat hobi membentuk organisasi baru, bahkan untuk sekadar mengatasi masalah-masalah yang sifatnyaad hoc?
Satu lagi tentang Kuntoro. Sekadar mengingatkan saja, Kuntoro adalah tokoh penting di balik UU No. 22/2001 tentang Migas yang sangat menguntungkan asing dan sangat merugikan Indonesia. Bukan itu saja lewat Kuntoro pula USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang draft-nya mereka buatkan.
Campur tangan asing
Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi.
Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal 1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID menyambut positif undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatanganiStrategic Objective Grant Agreement(SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20 juta.
Dokumen Kedubes AS juga mengakui bahwa upaya meloloskan UU Migas tidaklah mudah. Pembahasan yang dilakukan pemerintah dan parlemen berlangsung dengan sangat serius (very intense delibration).