Edy Mulyadi*
Soal bagi-bagi jatah menteri di kabinet Jokowi-Jusuf Kalla belum kelar benar. Kini, menggelinding pula wacana perlu tidaknya keberadaan Unit Kerja Preisden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dipertahankan.
Tentu saja, sebagaimana lazimnya sebuah wacana, UKP4 pun menyeruakkan kontroversi. Sebagian berpendapat institusi ini masih diperlukan. Paling tidak, lembaga bentukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini dapat membantu Presiden untuk mengawasi dan menilai kinerja para menteri selaku pembantu Presiden.
Dengan hadirnya UKP4, diharapkan pemerintahan bisa berlangsung secara efektif. Seperti diketahui, peran UKP4 adalah memberikan penilaian terhadap kinerja seluruh menteri. Selanjutnya hasil evaluasi itu disampaikan langsung kepada presiden. Dari sini publik bisa tahu kinerja para menteri yang gaji dan segala macam fasilitasnya ditanggung rakyat.
Sebaliknya, buat kelompok yang berseberangan, menilai UKP4 sama sekali tidak efektif. Dalam perspektifpara penentang, UKP4 tidak berguna sehingga sama sekali tidak diperlukan. Alasannya, UKP4 adalah lembaga setingkat menteri. Logikanya, bagaimana mungkin lembaga yang derajat dan kedudukannya mengevaluasi dan menilai institusi setara?
Tidak bermanfaat
Terlepas dari pro-kontra itu, ada baiknya bila Jokowi-JK berkaca dari pengalaman yang sudah ada. Di bawah kendali Kuntoro Mangkusubroto, misalnya, harus diakui lembaga ini nyaris tidak bermanfaat. Padalah dia diangkat menjadi Kepala UKP4 sejak 2009, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85/P/2009. Artinya, dalam rentang waktu hampir lima tahun kepemimpinannya, eksistensi dan fungsi UKP4 bisa disebut antara ada dan tiada.
Dalam perjalanannya, UPK4 ternyata menggelembung menjadi institusi yang gemuk. Kabar terakhir, menyebutkan lembaga ini dijejali sekitar 600 personal. Tentu saja, jika kabar ini benar, Kuntoro sudah mengingkari komitmennya sendiri.
Dalam situs resminya (ukp.go.id), jelas-jelas disebutkan bahwa dalam menatakelola organisasinya, UKP4 berpegang pada tujuh prinsip. Salah satu prinsip itu adalah ramping namun efisien danmaximum multitasking workgroup. untuk menjaga aliran kerja agar tetap mengedepankan integritas tinggi dengan hambatan minimum.
Jumlah SDM yang superjumbo untuk lembaga setingkat unit kerja memang benar-benar berlebihan dan tidak perlu.Pasalnya, di sana pasti melekat kebutuhan terhadap sarana, prasarana, termasuk gaji dan berbagai tunjangan. UUD, ujung-ujungnya duit lagi. Mana bisa efisien kalau ongkosnya terus menggelembung?
Ironi