Perempuan itu pertanda kelemahan. Bahkan kelemahan, ya perempuan itu sendiri. Plintat-plintut. Pengecut. Tidak bertanggung jawab, dan berbagai kelemahan lain. Begitu kira-kira kesimpulanku ketika mencermati pernyataan-pernyataan sinis patriarki dan bias gender.
Aku sangat menentang sekali sikap dan pernyataan-pernyataan suamiku yang seperti itu atau sejenis itu. Perempuan mana yang tidak mendidih hati dan pikirannya ketika mendapatkan perlakuan atau pernyataan diskriminatif seperti itu. Tapi saranku, bersikaplah sewajarnya saja. Mereka tak bisa menolak fakta bahwa mereka membutuhkan kita para perempuan.Â
"Boleh saja kamu katakan perempuan lemah, tapi perempuan juga melemahkan," kataku saat terpaksa meladeni argumentasi suamiku sore itu.
Dia juga mengetengahkan suatu kesimpulan bahwa perempuan hanya bagian kecil dari laki-laki. Tulang rusuk. Sangat kecil. Dengan itu, dia hendak menunjukkan bahwa peran dan kontribusi perempuan kecil, sekecil dirinya yang tercipta dari tulang rusuk.
"Jangan salah. Sesuatu yang kamu anggap kecil itu yang membuat Adam tidak kerasan meski tinggal di surga," tukasku sambil memasang popok si kecil, bayi perempuanku.
***
Sudah hampir satu bulan suamiku tidak pulang. Aku tidak tahu di mana gerangan berada. Hanya saja, sekali waktu dia tetap mengirim pesan via WhatsApp menanyakan kabarku. Tapi setelah aku jawab dan aku tanya kembali, tidak ada respons balik. Kalaupun aku telepon, sudah pasti tidak pernah diangkat. Aku sudah mencobanya berulang kali.
Masalahnya, bagiku sepele, tapi mungkin bagi dia tidak. Dia pergi hanya karena aku melahirkan anak kami yang kelima berjenis kelamin perempuan. Ya, karena anak kami yang kelima terlahir dengan jenis kelamin perempuan, kemudian dia pergi.
Nasibku masih mujur meski suamiku tidak di rumah satu hari setelah aku melahirkan bayiku yang kelima ini. Ibu mertuaku mau menemaniku tanpa harus diminta. Aku tidak tahu apakah mereka bersekongkol atau tidak. Aku memilih berpikir positif saja. Mungkin, karena aku perempuan dan ibu mertuaku perempuan. Jadi, dia dapat merasakan perasaan yang sama sebagai perempuan.
Sebelum pergi, suamiku masih sempat mencium keningku dan berkata. "Aku mau menenangkan diri dulu."
Aku kira, dia hanya pergi ke warung kopi berkumpul dengan kawan-kawannya. Tak disangka, sudah hampir satu bulan dia tidak pulang.
Ibu mertuaku sempat bertanya soal suamiku itu. Aku jawab seadanya saja. Tidak ada yang aku tutup-tutupi.
"Kamu sabar saja. Ibu yakin, kamu pasti bisa menyadarkannya. Meski semua tetap butuh proses," kata ibu mertua sambil tersenyum.
Aku memang sangat cocok dengan perangai ibu mertuaku. Aku senang bila dia berada di rumah. Bukan karena dia bisa membantu meringankan beban pekerjaan rumah tanggaku, tapi karena kepribadiannya yang terbuka dan luwes.
Saat aku hamil anak pertama, suamiku sangat bahagia dan dia berharap janin di perutku lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Sebenarnya aku tersinggung saat mendengar harapannya itu. Menurutku, apa yang salah kalau anak pertama itu perempuan.
Memang aneh. Di zaman ini cara pandang patriarki masih bergentayangan di sebagian kecil orang. Barangkali suamiku termasuk dari sebagian kecil orang itu.
Anak pertama yang diharapkan adalah anak berjenis kelamin laki-laki. Kalau tidak perempuan, setidaknya lahir pula anak laki-laki. Jangan sampai melahirkan anak perempuan semua, seperti diriku ini.Â
Saat anak pertama kami lahir dengan normal dan selamat, kuperhatikan senyum suamiku bukan senyum bahagia, melainkan hampa dan tersisip rasa kecewa. Aku tak mungkin salah paham dengan jenis senyum seperti itu.
Ketika aku hamil anak kedua. Harapan suamiku tetap saja. Dia berharap janin yang aku kandung terlahir dengan jenis kelamin laki-laki. Tapi sayang, lagi-lagi janin itu terlahir perempuan.Â
Kali ini, suamiku bukan hanya tersenyum kecewa, dia juga sempat mengucapkan kalimat bias.
"Perempuan lagi," ucapnya sinis. Aku tersinggung, tapi aku tahan saja.
Lain halnya, ketika aku melahirkan anak ketiga. Karena yang lahir juga anak berjenis kelamin perempuan, dia bukan hanya mengucapkan kata-kata sinis diskriminatif. Tapi dia tidak mau menggendongnya hingga lima belas hari. Begitu juga ketika anak keempat lahir dengan jenis kelamin perempuan. Dia benar-benar kecewa.
Nah, kehamilanku yang kelima ini benar-benar direncanakan. Kami melakukan banyak hal agar janin ini terlahir sebagai laki-laki. Kami meminta doa kepada orang pintar dan karismatik. Kami konsultasi ke dokter kandungan. Kami juga melakukan teknik-teknik berhubungan yang dipercaya akan menghasilkan anak laki-laki. Nyaris semua saran orang kami lakukan dengan baik.Â
Saat kehamilanku yang kelima ini berusia dua bulan, suamiku memaksa melakukan USG (Ultrasonografi) untuk mengetahui jenis kelamin janin di perutku. Aku katakan ini gila. Tentu hasilnya belum dapat mendeteksi jenis kelamin di perutku. Benar saja, dokter tidak bisa memberikan kesimpulan jenis kelamin janinku.Â
Pada bulan kelima, janinku di-USG lagi. Saat itu dokter menyimpulkan bahwa janinku berjenis kelamin laki-laki. Sudah pasti kebahagiaan suamiku tiada terkira. Dia menyelenggarakan syukuran dengan mengundang kerabat dan tentangga di sekitar rumah.
Usia kehamilanku semakin menua. Tak lama lagi aku melahirkan anak yang kelima ini. Suamiku tidak pernah lagi mengajakku ke dokter meski hanya sekadar memeriksa kesehatan. Aku hanya rutin datang ke posyandu dan tidak ada masalah, baik pada diriku maupun janinku. Semua sehat dan normal saja.
Sore hari itu, tepatnya hari selasa, perutku mulas. Pertanda aku harus segera ke puskesmas untuk menjalani proses persalinan. Tapi suamiku tidak berkenan. Dia memilih membawaku ke klinik swasta di mana aku pernah melakukan USG. Aku menyetujui saja. Kami pun berangkat.
Suamiku terus menemaniku di ruang persalinan. Ini tidak seperti proses persalinanku sebelum-sebelumnya. Entahlah, apakah itu karena aku atau karena janin yang akan lahir itu berjenis kelamin laki-laki. Dia sendiri yang tahu persis.
Pukul delapan malam, aku melahirkan anakku yang kelima dengan suami di sampingku. Semua terperangah, termasuk aku. Janin yang aku lahirkan bukan seperti yang dikatakan dokter itu. Janin itu berjenis kelamin perempuan.Â
Setelah melihat itu, suamiku segera keluar dari ruang persalinan. Menurut penuturan seorang perawat, dia masuk ke ruang dokter. Dia memprotes dokter itu yang telah menyatakan bahwa janin yang aku kandung berjenis kelamin laki-laki, tapi faktanya aku melahirkan perempuan.
Satu hari setelah aku melahirkan anakku yang kelima itu, suamiku pergi meninggalkan rumah. Katanya ingin menenangkan diri. Aku memahaminya dan membiarkannya saja.
***
"Mas, aku akan buat anak-anak kita ini jadi laki-laki," chat-ku via WhatsApp.
"Aku segera pulang," balasnya lima menit kemudian.
Tak dinyana, tidak sampai satu jam kemudian lelaki itu, suamiku, sudah berdiri di hadapanku.
"Kamu akan menambah daging pada kemaluan mereka?" tanyanya tiba-tiba.Â
Aku belum sempat menyapanya, apalagi bertanya kabarnya. Pertanyaan demi pertanya melompat-lompat dari mulutnya. Alih-alih aku memilih diam. Aku biarkan suamiku menumpahkan seluruh kekecewaannya.
"Kamu terlalu menyederhanakan jenis kelamin," tukasku setelah kurasa cukup lama dia menceracau.
"Aku atau kamu?"
"Laki-laki dan perempuan itu karakter, Mas. Bukan sekadar jenis kelamin. Dan karakter itu melampaui jenis kelamin," tuturku.Â
Suamiku diam. Tampak dia berpikir serius dengan pernyataanku.
"Kalau Mas berpikir perempuan pertanda kelemahan dan kutukan, sedangkan laki-laki pertanda kekuatan, keberanian, kebijaksanan, dan keberuntungan. Maka, Mas kembalilah ke jalan yang benar. Banyak perempuan lebih tangguh dan bijaksana dibandingkan laki-laki. Mas juga lihat, banyak perempuan jadi tulang punggung dan kepala keluarga meski suaminya masih ada."Â
Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan keluarkan semua yang aku pahami selama ini. Bukan untuk kepuasan, tapi demi kesadaran.
"Tuhan tentukan jenis kelamin anak kita perempuan, tapi kita akan menentukan karakter anak-anak kita. Dia akan aku didik jadi laki-laki seperti gambaran Mas. Kuat, pemberani, tangguh, dan bijak."
Suamiku masih diam di tempat semula. Malam makin gulita. Sunyi. Hanya suara angin sayup-sayup menerobos masuk melalui jendela ke kamar kami. Pelan-pelan dia menghampiriku yang sedari tadi duduk di pinggir ranjang sembari menggendong bayi perempuanku yang kelima. Lalu, suamiku memeluk dan mencium keningku. Dia juga mencium bayi yang ada di gendonganku. Begitu juga empat anak perempuan yang sedang tidur pulas di kamar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H