"Aku segera pulang," balasnya lima menit kemudian.
Tak dinyana, tidak sampai satu jam kemudian lelaki itu, suamiku, sudah berdiri di hadapanku.
"Kamu akan menambah daging pada kemaluan mereka?" tanyanya tiba-tiba.Â
Aku belum sempat menyapanya, apalagi bertanya kabarnya. Pertanyaan demi pertanya melompat-lompat dari mulutnya. Alih-alih aku memilih diam. Aku biarkan suamiku menumpahkan seluruh kekecewaannya.
"Kamu terlalu menyederhanakan jenis kelamin," tukasku setelah kurasa cukup lama dia menceracau.
"Aku atau kamu?"
"Laki-laki dan perempuan itu karakter, Mas. Bukan sekadar jenis kelamin. Dan karakter itu melampaui jenis kelamin," tuturku.Â
Suamiku diam. Tampak dia berpikir serius dengan pernyataanku.
"Kalau Mas berpikir perempuan pertanda kelemahan dan kutukan, sedangkan laki-laki pertanda kekuatan, keberanian, kebijaksanan, dan keberuntungan. Maka, Mas kembalilah ke jalan yang benar. Banyak perempuan lebih tangguh dan bijaksana dibandingkan laki-laki. Mas juga lihat, banyak perempuan jadi tulang punggung dan kepala keluarga meski suaminya masih ada."Â
Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan keluarkan semua yang aku pahami selama ini. Bukan untuk kepuasan, tapi demi kesadaran.
"Tuhan tentukan jenis kelamin anak kita perempuan, tapi kita akan menentukan karakter anak-anak kita. Dia akan aku didik jadi laki-laki seperti gambaran Mas. Kuat, pemberani, tangguh, dan bijak."