Ibu mertuaku sempat bertanya soal suamiku itu. Aku jawab seadanya saja. Tidak ada yang aku tutup-tutupi.
"Kamu sabar saja. Ibu yakin, kamu pasti bisa menyadarkannya. Meski semua tetap butuh proses," kata ibu mertua sambil tersenyum.
Aku memang sangat cocok dengan perangai ibu mertuaku. Aku senang bila dia berada di rumah. Bukan karena dia bisa membantu meringankan beban pekerjaan rumah tanggaku, tapi karena kepribadiannya yang terbuka dan luwes.
Saat aku hamil anak pertama, suamiku sangat bahagia dan dia berharap janin di perutku lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Sebenarnya aku tersinggung saat mendengar harapannya itu. Menurutku, apa yang salah kalau anak pertama itu perempuan.
Memang aneh. Di zaman ini cara pandang patriarki masih bergentayangan di sebagian kecil orang. Barangkali suamiku termasuk dari sebagian kecil orang itu.
Anak pertama yang diharapkan adalah anak berjenis kelamin laki-laki. Kalau tidak perempuan, setidaknya lahir pula anak laki-laki. Jangan sampai melahirkan anak perempuan semua, seperti diriku ini.Â
Saat anak pertama kami lahir dengan normal dan selamat, kuperhatikan senyum suamiku bukan senyum bahagia, melainkan hampa dan tersisip rasa kecewa. Aku tak mungkin salah paham dengan jenis senyum seperti itu.
Ketika aku hamil anak kedua. Harapan suamiku tetap saja. Dia berharap janin yang aku kandung terlahir dengan jenis kelamin laki-laki. Tapi sayang, lagi-lagi janin itu terlahir perempuan.Â
Kali ini, suamiku bukan hanya tersenyum kecewa, dia juga sempat mengucapkan kalimat bias.
"Perempuan lagi," ucapnya sinis. Aku tersinggung, tapi aku tahan saja.
Lain halnya, ketika aku melahirkan anak ketiga. Karena yang lahir juga anak berjenis kelamin perempuan, dia bukan hanya mengucapkan kata-kata sinis diskriminatif. Tapi dia tidak mau menggendongnya hingga lima belas hari. Begitu juga ketika anak keempat lahir dengan jenis kelamin perempuan. Dia benar-benar kecewa.