Mohon tunggu...
Edy Hermawan
Edy Hermawan Mohon Tunggu... Guru - SMA Nurul Jadid

Penyuka buku apa saja dan senang menulis cerpen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Kukagumi Mata dan Senyumnya

8 Februari 2023   11:01 Diperbarui: 8 Februari 2023   11:02 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu, kita tak boleh melakukan lebih. Percayalah, aku hanya ingin membahasankannya dengan rangkaian kata yang indah agar kamu tahu betapa apa yang aku rasakan ini begitu indah. Setelah itu, semua selesai. Kita jalani hidup ini masing-masing.

Sore itu, aku sudah duduk di sudut kafe lebih awal lima belas menit dari waktu yang kamu janjikan. Aku memesan dua es jeruk sekaligus, lengkap dengan kentang goreng dan saus pedas. Aku sangat mengenalmu sebagai perempuan penyuka jeruk, yang berbahan jeruk, dan kentang goreng. Dan pasti, dulu saat aku mengajakmu bercengkerama di kafe mana pun, kamu akan memesan es jeruk dan kentang goreng dengan saus pedas.

Jujur saja, aku tidak pernah sengaja menanam, apalagi merawat perasaan ini. Semua itu ada dan tumbuh begitu saja. Berulang kali aku sudah mencabut hingga ke akar-akarnya, tapi percuma. Perasaan itu tumbuh kembali. Tanpa kurawat pun, ia terus tumbuh subur dengan daun rimbun penuh bunga.

Aku bisa apa? Aku tak bisa apa-apa. Kamu pernah mengatakan, kalau rasa itu serupa wahyu Tuhan. Ia akan datang, tumbuh, dan berkembang begitu saja. Kamu sendiri yang mangatakan itu saat kita harus melepas genggaman lantaran jauhnya jarak dan lamanya waktu yang memisahkan kita.

Sebenarnya, saat itu aku sangat ingin bertanya, apakah benar kita harus melepas genggaman hanya lantaran jarak dan waktu, atau karena sudah ada sesuatu yang lain yang tumbuh di dadamu? Tapi aku tak bisa, kamu terlalu terburu-buru menutup teleponmu dan nomormu tak bisa lagi kuhubungi sejak itu.

"Aku punya satu pertanyaan," kataku.

"Cukup. Tak ada yang perlu dipertanyakan lagi," sergahmu memotong kalimat terakhirku yang belum usai. Kemudian, suaramu hilang bersama gerimis dan dingin yang membungkus tubuhku.

Kamu tentu masih ingat saat kita tak sengaja bertemu di Puskesmas. Itu pertemuan pertama kita setelah lima tahun berpisah tanpa kabar sepatah kata pun. Aku terkejut, pasti. Aku bahagia, pasti. Tapi aku bingung harus bagaimana menyapamu. Aku bisu seketika itu juga.

Kamu masih sama, tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu saat genggaman kita belum terlepas. Kamu biarkan mata indahmu itu menatapku. Aku juga biarkan mata penuh kekaguman ini menatap mata indahmu. Kita saling tatap cukup lama, kemudian berbagi senyum. Tepat sekali, seperti itu yang biasa kita lakukan. Saling bertatapan, kemudian tersenyum.

Ah, sayang sekali. Semua harus berakhir setelah lelaki yang mengantarmu itu datang menghampiri. Lelaki itu mungkin mengerti bahasa tubuh kita. Mungkin juga tidak. Yang jelas, lelaki itu segera menarik lenganmu dan membawamu menuju salah satu bangunan, yang kutahu tempat persalinan dan pemeriksaan ibu hamil.

Saat itu kita memang tak bertegur sapa dengan satu kata terburuk sekalipun. Tapi bagiku, sorot tatap matamu dan senyum di bibirmu sudah cukup sebagai sapaan pada pertemuan pertama setelah sekian lama kita terpisah. Kamu masih sama seperti dulu. Mengagumkanku. Mata dan senyummu itu.

Sejak pertemuan itu, kita sering sekali bertemu. Kadang kita berpapasan di jalanan sambil menyetir sepeda motor. Kadang kita bertemu saat ada acara di lapangan kecamatan. Kadang di toko, di pasar, atau di acara-acara tertentu. Tapi, sama saja. Kita tak saling sapa, kecuali hanya saling beradu pandang, kemudian bertukar senyum, lalu kita berlalu.

Aku juga yakin, kamu masih ingat saat kita bertemu di acara sekolah, bukan reuni, tapi acara pentas seni sekolah. Aku sengaja hadir ke acara pentas seni sekolah yang sudah kutinggalkan lima tahun lalu itu. Pikirku, barangkali ada kawan-kawan seangkatanku yang hadir juga pada acara itu sehingga aku bisa bertukar cerita.

Saat aku turun dari sepeda motor, tanpa sengaja, mata kita kembali saling beradu. Kita bertahan dengan sorot pandang yang tentu kita sudah saling memahami, kemudian kita berbagi senyum seperti biasa, sebelum akhirnya lelaki itu menarik lengan kananmu dan membawamu pergi menjauh dari hadapanku. Ingin sekali aku juga memegang dan menahan lengan kirimu. Tapi tak mungkin, aku bukan siapa-siapa kamu lagi. Kamu tahu, malam itu juga seorang kawan membisikiku kalau lelaki itu suamimu. Sekarang kamu sedang mengandung janin lelaki itu.

Kenapa tidak kamu kenalkan lelaki itu kepadaku? Barangkali kita bisa berbagi pandang dan senyum lebih lama dengan izin darinya. Ah, tentu itu tidak mungkin. Itu khayalanku yang sangat mustahil. Mana ada lelaki yang rela perempuannya berbagi pandang dan senyum dengan lelaki lain. Tidak mungkin.

Belum genap tiga bulan yang lalu, tepat pada malam yang temaram. Persis pada suasana seperti malam itu juga kita pernah memadu rasa meski harus kandas karena ruang dan waktu, aku mendapatkan telepon dari nomor yang tak tersimpan di kontak ponselku, tanpa nama atau pengenal.

Sebenarnya, malam itu aku enggan untuk mengangkat telepon karena aku sedang membuat syair indah tentang dirimu. Tapi entah kenapa, pada panggilan yang ketiga kalinya, aku tak tega untuk menelantarkannya. Aku angkat telepon itu, seketika itu juga aku sadar kalau suara di seberang itu adalah suaramu, perempuan pemilik pandang dan senyum yang mengagumkanku.

Dari seberang, kamu memesan ruang kafe yang sedang aku bangun tujuh bulan yang lalu. Kamu bilang kalau kamu akan presentasi produk baru kepada para pelangganmu. Kamu tahu, tentu aku tak mungkin menolak permintaanmu, meski itu berupa permintaan perpisahan seperti yang kamu lakukan dulu kepadaku.

Hari itu, kamu benar-benar datang dan disusul beberapa

rombongan, mungkin itu yang kamu sebut pelanggan-pelanggan produkmu. Kamu tanya pada karyawanku, aku sedang di mana. Karyawanku menjawab kalau aku sedang ada urusan. Itu benar. Memang jawaban seperti itu yang aku perintahkan kepada karyawanku bila kamu bertanya di mana aku.

Kata karyawanku, kamu terlihat kecewa. Sungguh, maafkan aku. Aku tidak meninggalkanmu. Aku berada di seberang jalan sedang duduk-duduk dengan es jeruk kesukaanmu. Aku mengamatimu yang sedang berbicara di hadapan para pelangganmu itu. Sungguh aku senang karena bisa menatapmu lama-lama meski dari jauh.

Aku sangat memperhatikan kamu saat berbicara, tertawa, tersenyum, dan membenarkan kerudung biru langit itu. Yang ini juga perlu kamu tahu, diam-diam aku meminta karyawanku untuk merekam kegiatanmu di kafeku itu dan aku putar ulang saat di rumah. Aku masih menyimpan rekaman itu hingga detik ini.

***

Kemarin, aku memang sengaja menghubungimu dan mengajakmu bertemu di kafe ini. Aku ingin menyampaikan rasa ini kepadamu dan tentang seorang perempuan. Soal rasa ini, aku yakin kamu sudah sangat paham, tapi tetap harus aku sampaikan. Tentang perempuan itu, aku yakin kamu belum tahu. Setidaknya, itu menurut pendapatku pribadi.

Aku mengenal perempuan itu tepat saat aku singgah di toko buku dekat taman kota, tempat di tempat kamu menerima genggaman tanganku saat pertama kali, kemudian kita saling bergenggaman tangan. Merasakan aliran darah masing-masing sebelum akhirnya senja memaksa kita untuk segera pulang.

Perempuan itu begitu mirip denganmu. Cara dia menatap, tersenyum, tertawa, berbicara, bahkan saat pertama kali aku bergenggaman tangan pun, semua mengingatkanku padamu. Benar-benar mirip, kecuali alisnya lebih tebal daripada alismu.

Perempuan itu yang akan segera aku sunting untuk jadi pendamping hidupku. Kamu tahu, saat aku mengatakan perasaanku kepada perempuan itu, dia menatapku. Lama. Kemudian tersenyum, persis dengan apa yang biasa kamu lakukan kepadaku.

***

"Sudah lama?" tanyamu menyapaku tiba-tiba. Aku terkesiap karena sejak tadi tenggelam dalam lamunan, tanpa memperhatikan pintu masuk kafe hingga tak tahu kalau kamu sudah datang.

"Sudah lima belas menit yang lalu," jawabku pendek, gugup.

"Silakan duduk," kataku seketika berdiri, kemudian menarik kursi di hadapanku agar kamu lebih mudah untuk duduk.

"Aku sudah pesankan minum dan camilan. Sebentar lagi pelayan akan datang," tambahku.

"Terima kasih, tapi apa itu?"

"Es jeruk dan kentang goreng."

"Rupanya kamu masih ingat itu."

Aku hanya membalasnya dengan senyum, meski sebenarnya aku ingin sekali mengatakan kalau aku tidak pernah melupakan apa pun tentang dirimu. Semua masih aku ingat.

"Aku ingin menyunting seorang perempuan," kataku memulai sambil menatap lekat dua mata indahmu.

"Bagus. Aku sudah tahu," jawabmu mengagetkanku.

Aneh, kamu sudah tahu.

"Bagaimana tentang rasa kita?" tanyaku. Dua mata indahmu melebar. Bulu mata yang lentik itu semakin membiusku. Ah, tidak. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan lain, bukan denganmu.

"Apa yang kamu temukan dari dua mata ini saat beradu pandang denganmu, dan dari dua bibir ini saat berbagi senyum denganmu, kamu simpan saja. Kurasa kita sudah sama-sama paham," jelasmu.

Kalimatmu itu mengunci mulutku. Aku tak mungkin lagi menyampaikan rasa ini sebagaimana niat awal aku mengajakmu bertemu.

"Perempuan yang akan kamu sunting itu saudariku, yang diasuh oleh saudara ibuku. Selamat, kita akan jadi satu keluarga," katamu sambil mengulurkan tangan menyalamiku.

Aku terkejut mendengar penjelasanmu. Tapi anehnya, kamu tetap seperti dulu. Sambil menyalamiku, kamu membiarkan mata kita saling beradu pandang dan berbagi senyum. Malam itu, aku pulang membawa rasa kecut masam, sekecut jeruk yang sangat kamu suka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun