"Es jeruk dan kentang goreng."
"Rupanya kamu masih ingat itu."
Aku hanya membalasnya dengan senyum, meski sebenarnya aku ingin sekali mengatakan kalau aku tidak pernah melupakan apa pun tentang dirimu. Semua masih aku ingat.
"Aku ingin menyunting seorang perempuan," kataku memulai sambil menatap lekat dua mata indahmu.
"Bagus. Aku sudah tahu," jawabmu mengagetkanku.
Aneh, kamu sudah tahu.
"Bagaimana tentang rasa kita?" tanyaku. Dua mata indahmu melebar. Bulu mata yang lentik itu semakin membiusku. Ah, tidak. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan perempuan lain, bukan denganmu.
"Apa yang kamu temukan dari dua mata ini saat beradu pandang denganmu, dan dari dua bibir ini saat berbagi senyum denganmu, kamu simpan saja. Kurasa kita sudah sama-sama paham," jelasmu.
Kalimatmu itu mengunci mulutku. Aku tak mungkin lagi menyampaikan rasa ini sebagaimana niat awal aku mengajakmu bertemu.
"Perempuan yang akan kamu sunting itu saudariku, yang diasuh oleh saudara ibuku. Selamat, kita akan jadi satu keluarga," katamu sambil mengulurkan tangan menyalamiku.
Aku terkejut mendengar penjelasanmu. Tapi anehnya, kamu tetap seperti dulu. Sambil menyalamiku, kamu membiarkan mata kita saling beradu pandang dan berbagi senyum. Malam itu, aku pulang membawa rasa kecut masam, sekecut jeruk yang sangat kamu suka.Â