[caption id="attachment_295291" align="aligncenter" width="640" caption="Letusan gunung berapi (sumber: www.bbc.co.uk)"][/caption]
Indonesia termasuk negara yang kaya dengan gunung berapi. Positifnya, secara umum tanah kita termasuk sangat subur. Negatifnya, kita selalu berada dalam ancaman bencana yang diakibatkan oleh gunung berapi. Yang terkini adalah bencana Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Gunung Kelud di Jawa Timur juga perlu diwaspadai aktivitasnya. Erupsi dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah juga belum hilang dari ingatan kita.
Sayangnya, kondisi tsb tampaknya kurang diantisipasi dengan baik, sehingga dalam setiap peristiwa letusan, selalu ada korban jiwa yang kadang jumlahnya tidak sedikit. Terakhir adalah Gunung Sinabung yang memakan korban belasan orang. Konon mayoritas menjadi korban karena mengabaikan peringatan tentang status bencana yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.
Tapi ngomong-ngomong, apakah mereka (para korban, juga masyarakat secara keseluruhan) memang sudah mengetahui dan memahami makna status bencana gunung berapi itu? Ketika pemerintah bilang bahwa status Sinabung adalah "Awas" atau "Waspada", misalnya, apakah masyarakat mengerti maknanya?
Untuk diketahui, ada empat status aktivitas gunung berapi yang digunakan di Indonesia, yaitu:
1. Normal, artinya tidak ada tanda tekanan magma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
2. Waspada, artinyaada aktivitas di atas normal. Pada tahap ini pihak berwenang sudah harus melakukan sosialisasi tentang potensi bencana yang akan terjadi, sambil terus meningkatkan kewaspadaan (pengecekan peralatan, piket terbatas, dsb).
3. Siaga, artinya aktivitas gunung berapi sudah mengarah pada timbulnya erupsi atau letusan. Dalam kondisi demikian, selain sosialisasi, aparat harus menyiapkan sarana darurat, juga melakukan piket penuh.
4. Awas, artinya gunung berapi segera atau sedang meletus, atau dalam keadaan kritis untuk menimbulkan bencana. Wilayah yang terancam direkomendasikan untuk dikosongkan.
Sebelum menyiapkan tulisan ini, terus terang saya tidak sepenuhnya memahami berbagai status tersebut, khususnya perbedaan antara "Waspada" dengan "Siaga". Saya khawatir banyak orang seperti saya.
Bahkan menurut pendapat saya, pengkategorian itu memang tidak mudah dimengerti oleh orang awam. Ada kesan pengkategorian itu lebih sebagai pedoman bagi aparat, bukan untuk konsumsi masyarakat. padahal, untuk mengajak masyarakat mematuhi peringatan yang diberikan, kita harus yakin dulu bahwa masyarakat mengetahui dengan jelas level bahaya yang sedang mengancamnya.
Oleh karena itu, ada baiknya status bencana yang untuk konsumsi masyarakat disederhanakan atau diperjelas. Bagi masyarakat, yang penting adalah apa yang mesti mereka lakukan. Sebagai ilustrasi, di Hong Kong, yang terkenal sebagai daerah rawan badai, ada petunjuk bunyi sirine yang menandakan badai datang dan tingkat bahayanya. Bunyi tertentu menandakan orang tidak boleh keluar rumah, bunyi tertentu menandakan orang masih bisa beraktivitas tapi dengan kewaspadaan penuh, dsb.
Kalau hal seperti itu bisa diterapkan untuk bencana gunung berapi di Indonesia, saya yakin akan besar manfaatnya. Di banyak daerah perdesaan di Indonesia punya "kentongan" yang dulu sering digunakan sebagai media komunikasi yang efektif. Tidak ada salahnya pemerintah mengkombinasikan alat-alat modern dengan alat tradisional seperti itu, yang penting efektif untuk membuat masyarakat mengerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H