Minggu ini, netizen meributkan kontra pendapat antara Ari Wibisono dan Arbain Rambey. Ari Wibisono mengklaim bisa memotret Gunung Gede Pangrango (GGP) sebesar dan sejelas foto kanan di atas dari Kemayoran Jakarta.Â
Foto itu diberi keterangan pemandangan, "Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih Jakartans ?? #JakartaLangitBiru."Â
Lalu Arbain Rambey, seorang fotografer jurnalistik senior, mengomentari bahwa foto itu tempelan. Sontak Ari Wibisono bereaksi dan mengunggah foto aslinya di foto kiri di atas.Â
Netijen juga ikut bereaksi. Sebagian mendukung Arbain Rambey dan coba menjelaskan keanehan teknis fotografi Ari. Sebagian lainnya membela Ari Wibisono, bahkan mencap Arbain dengan sebutan yang kurang pantas bahkan dikaitkan dengan politik. Ada beberapa hal yang perlu netizen ketahui soal konflik ini.Â
Pertama, Gunung Gede Pangrango akan selalu tampak dari Jakarta di pagi hari. Tidak hanya Gunung Gede Pangrango, tetapi juga Gunung Salak. Kita bisa melihatnya kira-kira saat matahari mulai bersinar sampai pukul 09.00 WIB.
Lalu kenapa Gunung Gede Pangrango "menghilang" di siang hari? Ini lebih disebabkan faktor alam. Matahari semakin tinggi sehingga suhu udara naik. Kenaikan suhu udara meningkatkan penguapan air dan konsentrasi kandungan uap air di kolom udara.Â
Itu sebabnya udara negara kita sering disebut udara lembab. Sekarang bayangkan kandungan uap air di kolom udara dari Jakarta, Depok, Bojonggede, Bogor, lalu Puncak sejauh kira-kira 60 km.
 Berapa tebal kolom udara yang dipenuhi uap air itu? Faktor alam lainnya adalah gunung cenderung akan tertutup kabut seiring naiknya matahari dan suhu udara. Hal ini biasanya mulai terjadi saat lepas dari pukul 09.00 WIB.
Hal serupa terjadi dengan Gunung Merapi dari kawasan Stadion Maguwoharjo, Sleman. Hanya berjarak 25 km dari puncak Merapi, puncak tersebut pun hanya tampak sampai kira-kira pukul 09.00 pagi.Â
Setelah itu, puncak Merapi tertutup. Apakah kawasan antara Maguwoharjo dan Merapi berpolusi? Tidak sama sekali. Sepanjang jalur antara stadion dan gunung dipenuhi sawah, ladang, dan hanya beberapa perumahan atau pedesaan. Puncak Merapi "hilang" bukan karena polusi, tapi faktor alam.
Contoh lainnya, coba lihat Gunung Salak dari kawasan Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. Gunung Salak tampak jelas sekali sampai ke kontur dan tutupan pepohonannya. Tapi setelah pukul 09.00 WIB, gunung itu akan tertutup kabut bahkan dari kawasan kelurahan yang berada tepat di kaki gunung tersebut. Itu terjadi hampir setiap hari.
Jadi, gunung yang jauh bisa terlihat bukan karena udara bersih. Tapi karena dinamika alam. Jauh sebelum PSBB, saya hampir selalu bekerja sambil menikmati pemandangan Gunung Gede Pangrango dari kantor saya di Gambir, Jakarta Pusat. Gunung akan "menghilang" seiring perubahan iklim mikro di Jakarta dan kawasan selatannya. Juga karakter alam di sekitar gunung yang akan membentuk kabut menjelang siang.
Sehingga, menyatakan bahwa gunung itu tampak karena udara bersih sebetulnya kurang tepat. Ari dan Dinas LH DKI perlu melihat gejala alam ini secara lebih utuh. Coba lihat bagaimana pemandangan di siang hari di masa PSBB juga.Â
Apakah Gunung Gede Pangrango tetap terlihat pada siang hari di masa PSBB yang minim polusi? Lalu bandingkan juga dengan jarak lokasi pengamatan dan gunungnya. Seperti mengamati Merapi dari Maguwoharjo atau Salak dari Mulyaharja. Dari jarak yang dekat pun, gunung tidak terlihat karena tertutup kabut. Tidak terlihat bukan karena polusi.
Melihat lebih utuh lalu menyampaikan informasi (walau berupa gambar) dengan lebih jujur itu penting.
Kedua, ada perbedaan cara pandang antara Arbain dan Ari dalam niat menyampaikan informasi kepada publik. Ari menunjukkan foto yang sudah disunting sedemikian rupa dengan Adobe Lightroom hingga kontur gunung dan pepohonan terlihat jelas.Â
Ari seperti ingin berucap, "Hey, lihat Gunung Gede Pangrango dari Kemayoran. Jelas banget gunungnya, ya? Konturnya, tutupan pepohonannya. Ini tanda udara bersih."Â
Ingin mencitrakan udara Jakarta bersih sehingga bisa melihat gunung yang jauh itu mungkin baik. Tapi sebaik-baiknya udara Jakarta, kita tidak akan bisa melihat kontur gunung dan permukaan pepohonan sejelas itu.Â
Mencitrakan udara bersih sampai bisa melihat kontur gunung sejelas foto Ari menurut saya terlalu berlebihan, kalau tidak mau disebut mengandung kebohongan.Â
Ini pula yang disebut Arbain dalam twitnya. Bila foto yang ditampilkan sejak awal adalah foto asli yang tidak bisa melihat kontur secara jelas, itu tidak terlalu masalah. Karena Gunung Gede Pangrango memang selalu tampak seperti itu. Hanya saja, penampakannya sebatas bentuknya secara umum, ttidak sampai kontur apalagi tutupan pepohonannya.
Kenapa Arbain bicara begitu, menurut saya wajar karena Arbain adalah fotografer jurnalistik. Ada batasan-batasan dalam olah foto jurnalistik agar pesan yang ingin disampaikan tidak kabur.Â
Dan foto olahan Ari ini sepertinya dinilai Arbain melewati batasan tersebut. Biasanya olah foto yang diperbolehkan hanya sebatas memotong (cropping) dan pengaturan gelap-terang gambar.Â
Kalau pemandangan mata hanya bisa melihat gunung secara umum tapi fotonya diolah sampai sedemikian bersih, kontur dan tutupan pepohonan kelihatan jelas, ini memang kelewatan.Â
Foto Ari tersebut ingin menggiring opini publik yang awam teknik fotografi dan tidak pernah memerhatikan Gunung Gede Pangrango dari Jakarta. Padahal kenyataannya penampakannya tidak seperti itu.Â
Itu yang menurut saya dipermasalahkan Arbain Rambey. Foto itu tidak cukup jujur bercerita tentang bagaimana Gunung Gede Pangrango terlihat dari Jakarta. Hal ini cukup fatal bagi Arbain yang bekerja di dunia fotografi dengan memegang teguh prinsip dan kode etik fotografi jurnalistik. Prinsip yang dipegangnya selama beberapa dekade.
Kesalahan Arbain, menurut saya, adalah mencap foto itu tempelan. Komposisi ukuran jalan dan mobil dibandingkan ukuran gunung dipermasalahkannya. Walau ini kesimpulan yang terlalu terburu-buru, tapi hal ini sebetulnya wajar karena pengalamannya memotret. Hal ini terkait perbandingan jarak antara fotografer dengan obyek dan obyek dengan latar belakangnya.
Foto itu "too good to be true" karena gunung dengan kontur sejelas itu tidak mungkin satu bingkai dengan jalanan Kemayoran. Tanpa olahan foto, gunung Gede Pangrango mungkin baru tampak sejelas itu bila dilihat dari kawasan Sentul, Bogor. Kedua, untuk mendapatkan komposisi obyek dan latar belakang yang berjarak puluhan kilometer tapi tampak setara dalam satu bingkai, butuh mengambil jarak yang cukup jauh. Hal ini pun dijelaskan oleh Arbain dalam twitnya.
Saya lihat ada perbedaan cara pandang Ari Wibisono dan Arbain Rambey dalam prinsipnya berfotografi. Ari mementingkan kecantikan, walau itu mengaburkan kejujuran informasi dalam gambarnya.
Teknik olah foto yang dilakukan Ari cukup banyak di fotografi komersial, misalnya untuk iklan. Sedangkan Arbain Rambey memengang teguh kejujuran informasi dalam gambar sebagaimana pedoman jurnalistik secara umum: jujur.Â
Dengan contoh kasus foto ini, Arbain seperti hanya ingin bilang, "Kalo dari Kemayoran nggak bisa melihat gunung sampai ke kontur dan pepohonan, mbok ya jangan diolah sampai sejelas itu. Kecuali kamu cuma mau bikin foto iklan, bukan foto yang menginformasikan sesuatu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H