Sabtu (21/9) pagi ini, Kompas.com menerbitkan sebuah tulisan feature tentang tantangan membesarkan anak generasi alpha (Link), sebutan untuk anak yang lahir setelah tahun 2010. Saya merasa ada yang aneh dengan tulisan ini karena beberapa hal.Â
Saya akan sedikit mengupas dan, selain itu, saya coba membuat tulisan dengan judul serupa tapi dari sudut pandang saya. Jadi, bagian pertama ini adalah kupasan saya atas berita itu.
Pertama, di paragraf pertama, penulis berita itu menyampaikan bahwa anak generasi alfa dianggap lebih pintar dari generasi sebelumnya karena sangat dekat dengan kecanggihan teknologi. Benarkah demikian?Â
Menurut saya, kepandaian seseorang tidak tergantung dari kedekatannya dengan teknologi. Bahwa seseorang dapat memperoleh wawasan lebih luas berkat teknologi, itu benar. Sehingga orang yang punya akses terhadap teknologi bisa memiliki wawasan lebih luas. Tapi apakah itu berarti lebih pintar? Apakah "pintar" itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan pintar sebagai cerdik, banyak akal, dan mahir melakukan sesuatu. Orang menjadi pintar karena belajar. Bahwa belajar dapat dilakukan lebih baik dengan teknologi, itu benar. Tetapi tidak melulu begitu. Dan tidak semua orang yang punya akses teknologi itu pintar karena mereka tidak menggunakan teknologi itu untuk belajar.Â
Mudahnya penyebaran berita bohong atau hoax lewat pesan berantai di grup whatsapp adalah contoh bahwa pemilik ponsel pintar belum tentu memiliki kepintaran yang cukup untuk memilah berita. Contoh lainnya adalah menggunakan komputer sekadar untuk "fesbukan" daripada untuk belajar atau bekerja.
Kedua, penulis Kompas.com tersebut memberi judul "tantangan" tanpa menjabarkan apa saja tantangannya. Di paragraf ketiga, penulis memang mengatakan bahwa anak generasi alfa akan menghadapi banyak tantangan dan kesempatan di masa depan. Tapi segera di paragraf selanjutnya, penulis justru melanjutkan dengan saran berbunyi "untuk itu, mereka perlu memiliki bla bla bla.."
Penulis menulis anak butuh dukungan gizi, asam lemak esensial agar perkembangan otak baik. Ini adalah kebutuhan anak manusia sejak dunia diciptakan, bukan anak generasi alfa saja. Dan ini adalah kebutuhan, bukan tantangan. Ada logika yang putus justru di awal paragraf yang membuat tulisan ini tidak nyambung antara judul dan tubuh tulisan.
Dua hal di atas adalah kekurangan yang saya temukan di berita. Setelah paragraf ini adalah tulisan saya tentang tantangan mendidik anak di generasi alpha. Saya menulis ini bukan untuk membandingkan apalagi "menyaingi" tulisan di Kompas.com tersebut. Saya menulis karena anak saya lahir di kisaran tahun yang sama dan memiliki concern yang sama dengan yang tertulis di judul feature di Kompas.com tersebut.
Tantangan Membesarkan Anak Generasi Alfa
Membesarkan anak Generasi Alfa, sebutan untuk anak yang lahir di tahun 2011 dan sesudahnya, memiliki tantangan yang berbeda dan jauh lebih sulit dibanding anak yang lahir di dekade sebelumnya. Namun bila dilihat dengan jernih, banyak tantangan itu secara umum berasal dari dua hal yaitu kemajuan teknologi dan kerusakan lingkungan.
Lahir di era "teknologi dalam genggaman," Generasi Alfa sangat mudah terpapar teknologi. Hal paling sederhana dari teknologi adalah mudahnya penyebaran informasi. Mulai dari kanal berita, blog, hingga video di youtube. Oleh sebab itu, orang tua anak Generasi Alfa harus mau berpikiran terbuka atas keterbukaan informasi.Â
Anak sangat mungkin mendapat berbagai informasi di internet. Mulai dari informasi positif seperti persaingan NASA dan SpaceX, teknologi dirgantara terbaru, peran mangrove terhadap daratan, tips diet sehat, dan lokasi-lokasi wisata alam terbaru; hingga informasi yang anak-anak belum perlu tahu seperti kejadian pelecehan seksual, tindak kejahatan yang brutal, kecelakaan tragis lengkap dengan gambar tangan dan kaki putus dari badannya, dan gedung berhantu.
Memiliki anak yang dapat mengakses beragam informasi tersebut, maka kita harus melakukan dua hal, yaitu mengajarkan mereka untuk selektif memilih sumber informasi dan menjadi rekan diskusi mereka.
Internet menyediakan banyak kanal untuk kita dan anak-anak membaca tulisan-tulisan ringan namun bermanfaat tentang apa saja. Hal yang perlu kita pedomani adalah sumber tulisannya. Carilah website yang memiliki tim penulis yang cukup baik. Atau bila kita tahu nama seorang penulis dan bidang yang ditulisnya, kita bisa googling nama penulis dan kata kuncinya sekaligus. Beberapa tulisan di blog gratisan itu cukup baik, namun banyak yang hanya menjual sensasi. Kita bisa belajar memilah tulisan yang baik untuk anak kita baca atau bekal kita berdiskusi dengan anak.
Selain mendidik anak mencari sumber informasi yang kredibel, kita juga perlu menjadi rekan diskusi anak karena ada banyak hal yang tidak tersampaikan dalam artikel-artikel positif sekali pun. Dan orang tua biasanya memiliki cara pandang terhadap setiap hal dan mau agar cara pandang itu dijadikan pedoman anaknya.
Misalnya ketika anak mulai belajar tentang seks. Maksud saya di sini bukan anak sedang belajar bagaimana berhubungan seks. Belajar seks di sini adalah belajar perbedaan biologis antara laki dan perempuan, bagaimana bayi bisa lahir, bagaimana anak laki harus bersikap ke teman lawan jenis, dan lain-lain yang semacam itu. Anak bisa belajar dari internet tentang siklus menstruasi, proses pembuahan, perubahan bentuk tubuh manusia saat puber, dll. Tapi bagaimana seorang anak laki-laki harus menghormati teman perempuan atau seorang anak perempuan harus menjaga diri di lingkungannya adalah hal-hal yang biasanya tergantung cara pandang orang tua. Itulah kenapa orang tua harus aktif berdiskusi dengan anak.
Bila kita menganggap suatu hal itu tabu dan tak perlu dibicarakan, itu tidak akan menghentikan anak melakukan pencarian informasi. Dan karena anak tidak mendapatkan cukup informasi di rumah, dia akan mencari di luar. Biasanya anak akan membahasnya dengan teman sebaya di sekolah.
Membahas suatu hal yang tidak dipahami dengan orang yang sama-sama tidak paham ibarat orang buta menuntun orang buta. Saya ingat teman-teman di bangku kelas 6 SD dulu sudah mulai penasaran dengan perubahan bentuk tubuh lawan jenis dan membahas dengan pengetahuan yang entah didapat dari mana. Hasilnya benar-benar ngaco dan tidak berfaedah sama sekali. Bahkan bisa menyesatkan bila mereka mulai berpacaran dan menggunakan "hasil diskusi" dengan teman sebaya sebagai bekal berinteraksi tubuh dengan pacarnya.
Jadi, jangan sampai mereka mendapatkan informasi yang salah karena berdiskusi dengan orang yang salah termasuk teman sebaya yang sama-sama awam. Oleh sebab itu, orang tua harus dapat menjadi rekan diskusi anak tentang hal-hal yang mereka sedang cari. Tentang apa saja, tidak hanya soal seks. Hal penting lainnya yang perlu dibahas dengan anak adalah bagaimana anak menerima orang lain dari latar belakang etnis, agama, dan kondisi ekonomi yang berbeda. Bagaimana anak bisa bekerjasama dengan anak lain yang berbeda agama.
Mengetahui kita tidak bisa seketat kamera CCTV dalam mengawasi anak kita, termasuk dalam hal apa saja yang dibicarakan anak kita dengan temannya, bisa membuat kondisi semakin rumit. Jangan sampai itu terjadi. Berpikir terbuka dan menyiapkan hati untuk rela membahas berbagai hal sensitif dan baru bagi kita adalah langkah awal yang sangat baik. Awali dengan niat dan kerelaan untuk membahas hal yang mungkin kita sendiri menabukan hal itu sebelumnya.
Tantangan lain membesarkan anak generasi alfa adalah kerusakan lingkungan. Anak generasi alfa lahir di mana sumber daya alam semakin terbatas, lingkungan semakin rusak, dan sampah karena kegiatan manusia jauh lebih tinggi dari kemampuan manusia mengolahnya.Â
Plastik mikro di daging ikan, hujan asam, perubahan iklim, dan tidak terkendalinya penyebaran penyakit adalah masalah yang akan dihadapi sehari-hari. Oleh sebab itu, orang tua anak generasi alfa harus belajar untuk hidup dengan mempertimbangkan kelestarian alam. Mematikan lampu bila tidak dipakai harusnya bukan sesuatu yang membanggakan lagi. Itu kewajiban. Langkah selanjutnya adalah mulai berpikir apa dampak pemakaian popok sekali pakai, memilih berjalan kaki daripada naik sepeda motor untuk ke toko yang jaraknya kurang dari 500 meter dari rumah, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan banyak lagi.
Contoh sederhana adalah soal popok sekali pakai. Bila satu anak menghabiskan minimal 3 popok sehari, maka di 4 tahun pertama kehidupannya akan menghabiskan 4.380 popok.Â
Bila Jakarta punya 3.000 balita yang orang tuanya lebih memilih popok sekali pakai dengan alasan praktis dan modern, maka akan ada 3.285.000 sampah popok dan fesesnya yang tersebar di TPA Bantargebang dan muara-muara sungai Jakarta seperti di Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara.Â
Pola pikir modern dan praktis bisa sangat membahayakan lingkungan bila tidak disertai kesadaran bahwa tindakan kita bisa merusak lingkungan. Sampah yang demikian banyak ini tidak seberapa dibanding saat anak generasi alfa itu melahirkan anak generasi berikutnya.Â
Tuntutan kebutuhan semakin besar seiring membludaknya penduduk bumi, sementara itu bumi tetap "segini-gini aja" bahkan cenderung kehilangan daya dukungnya. Anak generasi alfa akan menghadapi kemunduran lingkungan yang lebih sporadis. Mengajarkan mereka bagaimana menerapkan hidup ramah lingkungan tidak cukup dengan retorika, tetapi juga dengan contoh dan melibatkan langsung. Dengan melibatkan langsung, anak akan merasakan susahnya hidup dengan popok kain dan harus mencuci kotak makan demi menyampah dengan plastik sekali pakai. Namun dengan begitu, anak akan belajar untuk rela melakukan sedikit kerepotan demi hidup dengan sedikit sampah daripada hidup praktis tapi menyampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H