Mohon tunggu...
Edwi
Edwi Mohon Tunggu... -

Simply want to share humble opinion

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kompetisi Profesional untuk Industrialisasi Sepakbola Nasional, Mungkinkah?

3 Juli 2013   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di level klub, misalnya. Masalah dana adalah hal yang lumrah terjadi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Mengapa? masalahnya sederhana: Bad Accounting. Klub-klub Liga Nasional terkesan "modal nekat" untuk  mengarungi kompetisi. Sudah tahu kalau dana sangat kurang untuk berkompetisi, tapi tetap memaksakan diri. Padahal yang namanya "modal nekat" itu sesuatu yang tidak berlaku di dunia bisnis (kecuali kalau anda termakan buku-buku motivasi bisnis yang penuh mimpi, lagi populer kan?). Parahnya, klub-klub tersebut diijinkan untuk tetap berpartisipasi di Liga Nasional oleh otoritas liga dan PSSI.

"Lhah, itu kan karena susah cari sponsor?" Pasti akan banyak yang bilang begitu untuk menanggapi pernyataan saya di atas. Nah, inilah yang jadi tanggung jawab pengelola Liga Nasional. Bagaimana mungkin sponsor mau datang kalau  rating siaran langsung Liga Nasional kalah dengan sinetron? Padahal, katanya penduduk Indonesia banyak sekali yang menggemari sepakbola. Seharusnya penonton siaran langsung Liga Nasional cukup banyak.

Masalahnya adalah Liga Nasional memang tidak semenarik itu. Dengan kondisi klub peserta yang sebagian besar empot-empotan, stadion yang berstandar rendah, dan keamanan yang sama sekali tidak terjamin, Liga Nasional tidak punya daya tarik sebesar liga-liga Eropa. Singkatnya: klub tidak punya dana karena sulit cari sponsor. Kondisi tersebut membuat penampilan di Liga menjadi tidak maksimal, sehingga liga tidak menarik untuk ditonton. Karena liga-nya tidak menarik, tidak ada sponsor yang mau datang ke klub. Sebuah lingkaran setan yang sangat besar.

Jangan putus asa dulu. Ada solusi yang sebenarnya bisa diterapkan untuk mengatasi masalah ini, tapi butuh banyak pengorbanan untuk melaksanakannya. Solusi tersebut adalah:


  1. Memberlakukan regulasi partisipasi Liga seketat mungkin, terutama dari segi finansial. Setiap klub yang hendak berpartisipasi diharuskan memiliki fasilitas memadai (stadion) dan tentu saja finansial minimum yang diperlukan untuk mengarungi satu musim kompetisi, termasuk akomodasi pertandingan away dan membayar gaji. Kalau aturan ini diberlakukan, jangan heran kalau 90% klub sepakbola di Indonesia bakal rontok, tidak diijinkan berkompetisi. tapi bukan berarti hal tersebut adalah hal yang buruk. Pada saat J-League dibuka pada tahun 1993 di Jepang, hanya ada 10 klub yang berhak berpartisipasi dalam kompetisi profesional tersebut setelah melewati aturan regulasi finansial yang ketat. Sekarang klub J-League diikuti 18 klub dan menjadi salah satu liga terbaik se Asia.
  2. Mengelola Liga secara profesional. Tidak ada lagi klub yang ngambek karena jadwal yang tidak masuk akal. Tidak ada lagi kekerasan fans yang sia-sia. Tidak ada lagi dualisme!
  3. Mengemas liga secara menarik. Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan hal-hal kecil dan non teknis, tapi bisa mempengaruhi persepsi penonton. Misalnya: membuat beragam variety show mengenai pesepakbola/klub peserta Liga. fans pastinya juga ingin melihat kehidupan pemain sepakbola di luar lapangan. (ini sudah dilakukan, hanya saja dalam bentuk segmen pendek dalam acara-acara berita sepakbola nasional). Maksimalkan juga Lisensi penjualan merchandise dan atribut-atribut yang berhubungan dengan Liga Nasional. Kalau perlu, cari orang yang bisa menjadi maskot Liga!
  4. Sering-sering datangkan orang-orang yang berpengalaman mengelola liga di Eropa ke Indonesia untuk membantu pengelolaan Liga Nasional.Hal ini pernah diterapkan oleh J-League di awal kompetisi tersebut dibentuk. (Jangan kita yang studi banding ke Luar Negeri. Boros)


Yah, itu pendapat saya mengenai wajah kompetisi sepakbola nasional negeri ini. apakah mungkin sepakbola kita menjadi profesional? who knows. Selama cinta itu ada, sepakbola takkan mati di hati seluruh masyarakat pecinta olahraga ini.

Bravo Sepakbola!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun