Saya sangat kesulitan "menikmati" atmosfer sepakbola di negeri ini.
Mengapa? Sederhana saja. Karena saya selalu menjadikan atmosfer sepakbola internasional (khususnya Eropa) sebagai "standar" saya dalam menikmati sepakbola. Memang, perbandingan ini sebenarnya kurang fair, di mana sepakbola Eropa sudah jauh meninggalkan sepakbola nasional dari segi kualitas. Namun, justru dengan perbandingan tersebut, saya jadi punya pertanyaan yang cukup menggelitik: "apa bedanya sepakbola kita dengan sepakbola internasional?"
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan terhadap pertanyaan tersebut. Perbedaan sepakbola kita dengan sepakbola internasional, khususnya Eropa terletak pada hal yang sangat fundamental: sepakbola Eropa telah ter"industrialisasi" dengan baik. Sepakbola kita malah belum layak dikatakan sebagai sebuah "industri".
Apa sih yang dimaksud dengan "industrialisasi sepakbola"? Bahasa gampangnya: membuat sepakbola menjadi bisnis yang menguntungkan. Industrialisasi adalah hal yang fundamental dalam sepakbola modern. Industries make bussiness. Bussiness make money. Money make facilities. Hal yang sama berlaku dalam sepakbola. Industri sepakbola menghasilkan duit, yang nantinya akan dipakai untuk memfasilitasi sepakbola itu sendiri. Klub-klub Eropa macam Manchester United tidak bisa membangun Old Trafford atau membayar pemain dengan APBD. Mereka mendapatkan dana dengan menjadikan diri sebagai komoditas bisnis. Caranya? Ikut berkompetisi secara profesional di Liga yang profesional. Menjadi juara. Menjaring penggemar. Setelah penggemar banyak, tinggal menunggu pihak-pihak sponsor berdatangan, menawarkan dana ratusan juta untuk sekedar menempelkan logo perusahaan mereka ke jersey MU.
Tentu saja tidak mudah untuk membangun industri sepakbola. Untuk melakukannya, sepakbola harus diperlakukan sebagai 'bisnis' yang sesungguhnya. Dalam bisnis, ada satu etos yang harus selalu diperhatikan, yaitu profesionalisme. Lihat lagi sepakbola Eropa. Sebagai wujud profesionalisme, mayoritas klub-klub Eropa telah berdiri sebagai perusahaan go public dengan saham yang bisa diperjualbelikan secara umum. Klub menjadi sebuah perusahaan yang memiliki hak dan kewajiban terhadap pemilik saham, dengan pemain serta pelatih menjadi 'karyawan'-nya. Ada kontrak berkekuatan hukum yang harus dipatuhi oleh pemilik saham, klub dan pemain.
Apa dampaknya? Industri dan bisnis selalu bersifat kompetitif. Pemilik saham tentu saja menginginkan klubnya berprestasi dibandingkan klub lainnya. Maka, klub akan jor-joran membangun tim yang kompetitif di liga yang diikutinya. Pemain/pelatih yang menjanjikan dikontrak, sedangkan yang tidak kompeten disingkirkan. Kejam, memang. Tapi justru karena tekanan bisnis tersebut, kita bisa menikmati sepakbola Eropa yang sangat kompetitif dan berkualitas. Persaingan antar klub untuk menjadi yang terbaik menyuguhkan semangat sportifitas yang tentu saja menarik untuk disaksikan.
Bukan hanya klub yang harus profesional, tapi kompetisi yang menaungi klub-klub tersebut juga harus sama profesionalnya. Industri sepakbola hanya bisa "jalan" jika ada yang menontonnya. Banyaknya penonton akan meyakinkan sponsor untuk mempromosikan diri mereka lewat sepakbola. Makanya, kompetisi sepakbola harus dikemas secara menarik dan dikelola secara profesional. Lihat Barclays Premiere League di Inggris. Karena liga tersebut dikemas secara menarik dan profesional, banyak yang bersedia menyia-nyiakan malam minggu mereka bersama kekasih hanya demi menonton klub kesayangannya main di BPL.
Lho, bukannya di Indonesia juga begitu?
Konsepnya sih, begitu. Praktiknya?
Klub pontang-panting cari sponsor, susah payah menyediakan akomodasi untuk bertanding, dan seret bayar gaji pemain. bahkan kadang-kadang ada yang harus WO karena tidak punya dana untuk bertanding. Liga Nasional juga mendapat rating yang lebih rendah dibandingkan sinetron-sinetron di TV.
Mengapa? Karena segalanya di industri sepakbola kita tidak dikelola secara profesional.
Di level klub, misalnya. Masalah dana adalah hal yang lumrah terjadi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Mengapa? masalahnya sederhana: Bad Accounting. Klub-klub Liga Nasional terkesan "modal nekat" untuk mengarungi kompetisi. Sudah tahu kalau dana sangat kurang untuk berkompetisi, tapi tetap memaksakan diri. Padahal yang namanya "modal nekat" itu sesuatu yang tidak berlaku di dunia bisnis (kecuali kalau anda termakan buku-buku motivasi bisnis yang penuh mimpi, lagi populer kan?). Parahnya, klub-klub tersebut diijinkan untuk tetap berpartisipasi di Liga Nasional oleh otoritas liga dan PSSI.
"Lhah, itu kan karena susah cari sponsor?" Pasti akan banyak yang bilang begitu untuk menanggapi pernyataan saya di atas. Nah, inilah yang jadi tanggung jawab pengelola Liga Nasional. Bagaimana mungkin sponsor mau datang kalau rating siaran langsung Liga Nasional kalah dengan sinetron? Padahal, katanya penduduk Indonesia banyak sekali yang menggemari sepakbola. Seharusnya penonton siaran langsung Liga Nasional cukup banyak.
Masalahnya adalah Liga Nasional memang tidak semenarik itu. Dengan kondisi klub peserta yang sebagian besar empot-empotan, stadion yang berstandar rendah, dan keamanan yang sama sekali tidak terjamin, Liga Nasional tidak punya daya tarik sebesar liga-liga Eropa. Singkatnya: klub tidak punya dana karena sulit cari sponsor. Kondisi tersebut membuat penampilan di Liga menjadi tidak maksimal, sehingga liga tidak menarik untuk ditonton. Karena liga-nya tidak menarik, tidak ada sponsor yang mau datang ke klub. Sebuah lingkaran setan yang sangat besar.
Jangan putus asa dulu. Ada solusi yang sebenarnya bisa diterapkan untuk mengatasi masalah ini, tapi butuh banyak pengorbanan untuk melaksanakannya. Solusi tersebut adalah:
- Memberlakukan regulasi partisipasi Liga seketat mungkin, terutama dari segi finansial. Setiap klub yang hendak berpartisipasi diharuskan memiliki fasilitas memadai (stadion) dan tentu saja finansial minimum yang diperlukan untuk mengarungi satu musim kompetisi, termasuk akomodasi pertandingan away dan membayar gaji. Kalau aturan ini diberlakukan, jangan heran kalau 90% klub sepakbola di Indonesia bakal rontok, tidak diijinkan berkompetisi. tapi bukan berarti hal tersebut adalah hal yang buruk. Pada saat J-League dibuka pada tahun 1993 di Jepang, hanya ada 10 klub yang berhak berpartisipasi dalam kompetisi profesional tersebut setelah melewati aturan regulasi finansial yang ketat. Sekarang klub J-League diikuti 18 klub dan menjadi salah satu liga terbaik se Asia.
- Mengelola Liga secara profesional. Tidak ada lagi klub yang ngambek karena jadwal yang tidak masuk akal. Tidak ada lagi kekerasan fans yang sia-sia. Tidak ada lagi dualisme!
- Mengemas liga secara menarik. Hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan hal-hal kecil dan non teknis, tapi bisa mempengaruhi persepsi penonton. Misalnya: membuat beragam variety show mengenai pesepakbola/klub peserta Liga. fans pastinya juga ingin melihat kehidupan pemain sepakbola di luar lapangan. (ini sudah dilakukan, hanya saja dalam bentuk segmen pendek dalam acara-acara berita sepakbola nasional). Maksimalkan juga Lisensi penjualan merchandise dan atribut-atribut yang berhubungan dengan Liga Nasional. Kalau perlu, cari orang yang bisa menjadi maskot Liga!
- Sering-sering datangkan orang-orang yang berpengalaman mengelola liga di Eropa ke Indonesia untuk membantu pengelolaan Liga Nasional.Hal ini pernah diterapkan oleh J-League di awal kompetisi tersebut dibentuk. (Jangan kita yang studi banding ke Luar Negeri. Boros)
Yah, itu pendapat saya mengenai wajah kompetisi sepakbola nasional negeri ini. apakah mungkin sepakbola kita menjadi profesional? who knows. Selama cinta itu ada, sepakbola takkan mati di hati seluruh masyarakat pecinta olahraga ini.
Bravo Sepakbola!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H