[caption caption="Tebing di Sianjur Mulamula (sumber: solutourandtravel.blogspot.co.id)"]
Sejarah Harus Ditulis Ulang
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Si Raja Batak itu disebutkan menurunkan Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Oleh karena namanya Si Raja Batak, makanya keturunannya menyandang kata “Batak” juga seperti halnya marga. Seperti itulah pemahaman di Toba, yang diyakini bahwa semua yang disebutkan tadi menyebar dari Sianjur Mulamula, sehingga bila ada pihak yang mengatakan bahwa mereka bukan Batak, maka itu dipahami sebagai durhaka, karena menyangkal leluhurnya. Demikianlah pemahaman di Toba, sehingga membuat mereka sulit menerima pernyataan pihak-pihak tadi yang mengatakan “bukan Batak”, karena menganggap Si Raja Batak mempunyai hubungan genealogis dengan Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing.
Telah dikemukakan di atas bahwa jumlah marga-marga dari Bangso Batak atau Suku Batak yang merupakan keturunan Si Raja Batak sekitar hampir 500 marga dari Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing (termasuk Angkola). Jadi, berdasarkan uraian tadi, maka Tanah Toba, Tanah Pakpak, Tanah Karo, Tanah Simalungun, dan Tanah Mandailing sebelumnya kosong. Baru setelah Si Raja Batak datang ke Sianjur Mulamula dan keturunannya mulai berkembang barulahlah mereka menyebar ke daerah-daerah tersebut, maka terbentuklah Bangso Batak seperti yang disebutkan tadi. Pertanyaannya, benarkah masing-masing daerah ini adalah tanah kosong yang belum didiami oleh manusia sebelum keturunan Si Raja Batak datang mendiami tanah kosong tersebut? Tentu tidak demikian, karena sudah banyak manusia datang ke seluruh daerah di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir.
Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing, Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba telah lebih dulu berdiam di Sumatera Utara yang datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu (2015:41-42), sedang masa hidup Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula itu sekitar 500 – 1.000 tahun lalu atau paling lama 1.000 tahun lalu. Ditambah lagi penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia datang bermigrasi ke Tanah Karo, Tanah Simalungun, Tanah Mandailing, dan Tanah Pakpak yang datang pada masa Neolitik di sekitar 6.000 – 2.000 tahun lalu, yang dimenangkan penutur Austronesia, sehingga menjadikan bahasa Karo, bahasa Simalungun, bahasa Mandailing, dan bahasa Pakpak termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Kemudian orang-orang India Selatan datang lagi bermigrasi ke Tanah Karo, Tanah Simalungun, Tanah Mandailing, dan Tanah Pakpak pada millenium pertama di sekitar abad ke-3 Masehi.
Dengan demikian, Si Raja Batak adalah pendatang baru di Sianjur Mulamula yang kedatangannya memiliki selisih waktu setidaknya 5.000 tahun lebih dulu Raja-Raja Karo, Raja-Raja Simalungun, Raja-Raja Mandailing, Raja-Raja Pakpak, dan Raja-Raja Toba. Itu sebabnya dapat dipastikan bahwa Orang Karo, Orang Simalungun, Orang Mandailing, dan Orang Pakpak bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukanlah keturunan Si Raja Batak. Kalaupun terjadi migrasi marga-marga tertentu dari Toba ke daerah Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak, maka hal itu bukan berarti menjadikan etnis Karo, etnis Simalungun, etnis Mandailing, dan etnis Pakpak berasal dari Toba. Kalaupun W.M. Hutagalung dan penulis-penulis Sejarah “Batak” lain menyebutkan dan mengklaim bahwa semua marga Karo, marga Simalungun, marga Mandailing, dan marga Pakpak berasal dari Toba sebagai keturunan Si Raja Batak, maka hal itu jelas tidak sesuai dengan fakta.
Etnis Karo, etnis Simalungun, etnis Mandailing, dan etnis Pakpak sudah berdiam di tanahnya masing-masing sebelum Si Raja Batak datang. Mereka masing-masing menggunakan bahasa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Kemudian masing-masing etnis ini terjadi migrasi ke luar dan ke dalam termasuk dari Toba, sehingga terjadi percampuran dan mereka mengalami perkembangan budaya. Kalaupun ada migrasi dari Toba, maka bukan berarti Toba menjadi induk dari masing-masing etnis ini. Setiap etnis memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Dengan demikian, masing-masing etnis pada dasarnya terbentuk sendiri, sehingga bukan diturunkan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti dikemukakan oleh W.M. Hutagalung yang secara prinsip diikuti oleh penulis-penulis sejarah “Batak” lainnya.
Etnis Nias sudah berdiam di pulau Nias sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka berbahasa Nias yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Mereka nyaris tidak mengalami percampuran di masa lalu, karena jauh dari daratan Sumatera dan setelah terjadi migrasi baru terjadi percampuran sedikit sehubungan dengan transportasi yang semakin baik setelah Indonesia merdeka. Sebagai sebuah etnis, Etnis Nias memiliki tanah ulayat, masyarakat, bahasa, budaya, kepercayaan tradisional (agama suku), dan mitologi sendiri. Inilah etnis Nias yang sekarang dan pada dasarnya etnis Nias terbentuk sendiri, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula seperti yang dikemukakan oleh penulis-penulis sejarah Batak.
Etnis Aceh (Gayo) dapat dipastikan bukan berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali. Etnis ini sudah terlalu tua jika hendak dibandingkan dengan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula, karena etnis ini sudah ada pada masa prasejarah sementara Si Raja Batak datang pada millenium kedua di Sianjur Mulamula. Dengan demikian, etnis Aceh (Gayo) bukanlah berasal dari Sianjur Mulamula dan bukan keturunan Si Raja Batak sama sekali seperti yang dikemukakan oleh W.M. Hutagalung.
Etnis Melayu sudah berdiam di Sumatera Utara sebelum Si Raja Batak tiba di Sianjur Mulamula. Mereka telah mulai terbentuk sejak masa prasejarah oleh orang Negrito, penutur Austroasiatik, penutur Austronesia dan masih terus bercampur pada masa sejarah seiring dengan datangnya para migran dari Asia Daratan. Dengan demikian, jelaslah gambaran masyarakat di Sumatera Utara di masa lalu yang membentuk berbagai etnis secara sendiri-sendiri.
Akhirnya, turiturian (folklore) dan tarombo yang ditulis oleh W.M. Hutagalung di dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926) yang berpangkal kepada figur Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula di kaki Pusuk Buhit, Samosir terbukti secara prinsip tidak sesuai dengan fakta. Oleh karena itu, sejarah harus ditulis ulang.