Arkeolog prasejarah, Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak telah mengemukakan di atas bahwa ras australomelanesoid telah lebih dulu bermigrasi ke Sumatera. Kemudian disusul oleh penutur Austroasiatik pada sekitar 4.300 – 4.100 tahun lalu dan penutur Austronesia menyusul pada sekitar 4.000 tahun lalu. Penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia ini, keduanya adalah ras Mongoloid yang berasal dari Yunan, Cina Selatan. Leluhur prasejarah ini dikemukakan oleh Harry Truman Simanjuntak. Ras australomelanesoid tadi datang pada masa Mesolitik di sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu melalui pesisir Timur Sumatera bagian Utara dan menyebar ke daerah-daerah Sumatera hingga ke Sumatera Selatan. Dari mereka inilah, penulis sebutkan di sini sebagai Raja-Raja Pakpak, yang menurunkan Orang Pakpak. Disusul penutur Austroasiatik dan penutur Austronesia pada masa Neolitik di sekitar tahun 6.000 – 2.000 tahun lalu.
Orang Pakpak mempunyai versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya berdasarkan sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan Hasanuddin, 1999/2000:16):
- Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Pakpak.
- Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan Purbaji.
- Dalam lapiken/laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
- Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
- Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Selain itu, ada juga jejak Tamil dari India Selatan di dalam masyarakat Pakpak, karena orang-orang dari India Selatan banyak datang ke Sumatera Utara sejak millennium pertama Masehi di sekitar abad ke-3. Kemiripan hasil-hasil budaya Pakpak (dengan India) merupakan buah dari kontak dagang Pakpak dengan India (Tamil). Khususnya Barus merupakan bandar internasional, menjadi gerbang bagi transfer budaya dari India terhadap budaya Pakpak yang terjadi setidaknya sejak akhir abad ke-10 M atau awal abad ke-11 M. Sejumlah unsur budaya India itu telah memperkaya kebudayaan Pakpak sebagaimana dapat dilihat jejak-jejaknya hingga kini (Soedewo, 2008, dalam https://balarmedan.wordpress.com). Parultop Padang Batanghari memiliki putri Pinggan Matio, yang dikawini Raja Silahisabungan. Pdt. Abednego Padang Batanghari menyebutkan bahwa Parultop merupakan generasi kesembilan dari marga Padang Batanghari (Tabloid TANO BATAK, Edisi Oktober 2010).
Raja-Raja Nias
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 yang menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam. Mereka ini bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau, kata Prof. DR. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam (Wikipedia).
Penelitian genetika terbaru menemukan, bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar 10 tahun ini, Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias (Wikipedia).
Dalam genetika orang Nias tidak ditemukan dari masyarakat Nias kuno yang hidup 12.000 tahun lalu (Kompas, 16/04-2013). DNA Nias ini sudah diperbandingkan dengan DNA Karo dan “Batak” (baca: Toba). ”Untuk membandingkannya, Van Oven mengintip darah Karo dan Batak serta menemukan marka DNA yang lebih variatif. Anehnya lagi, kedua etnis yang bertetangga wilayahnya dengan Pulau Nias ini tak memiliki dua marka genetik Nias.” (Tempo, 17/04-2013). Jelas, bahwa DNA Nias berbeda dengan DNA Toba maupun Karo.
Raja-Raja Aceh
Temuan fosil manusia di Loyang Mandale, Aceh Tengah yang berusia 7.400 tahun (temuan terbaru 8.430 tahun), maka telah dilakukan tes DNA terhadap fosil yang ditemukan tersebut dan sampel darah 300 lebih siswa/i di Takengon. Dr. Safarina G. Malik dari Eijkman Institute menyampaikan bahwa orang Aceh Gayo adalah keturunan fosil tersebut yang merupakan ras Australomelanesoid atau Orang Negrito, pendukung budaya Hoabinh. Secara genetik, Gayo ini berkerabat sangat dekat dengan Karo (Kaber Gayo, 10/12-2011; Lintas Gayo, 08/03-2012).