Di sudut kampung, tampak ada dua anak umur sebelasan sedang bercengkerama di belakang rumah bilik bambu.
 " pokoknya kalau sekarang kamu gak jumataan, jangan anggap saya sebagai teman. Saya gak akan ngajak kamu main lagi dan kamu juga jangan ngajak saya bermain, kita putus pertemanan." Kata Yana pada Sakti yang tengah memberi pakan pada kambing gembalaannya.
 " jangan begitu atuh.. sebenarnya saya juga mau tapi.."
 "Tapi apa? tapi malas,, saya juga malas tapi harus dipaksakan berangkat," Yana tertawa dan lalu terheran-heran  melihat temannya memberi isyarat untuk menunggunya sebentar sambil bergegas masuk ke rumahnya.
 " nih lihat, yan! saya malas jumatan itu karena ini,,saya malu memakainya, " ujar Sakti setelah keluar dari rumahnya dan berdiri dihadapan Yana.
Yana tertawa melihat sehelai sarung lusuh, terbuat dari kain kasar serupa plastik berwarna cokelat yang di kedua ujungnya menggelinting seperti tak pernah mengenal setrikaan.
 "Apaan inii..sudah ada sobeknya lagi bekas ngait ke paku, " kata Sakti sambil mencampakan sarung ke dahan pohon jambu.
 "Saya kasih nanti,, tunggu sebentar saya pulang dulu ngambil sarungnya."
               *     *    *
Sarung itu pun ditemukan dilemari tua milik orang tua Sakti. Dengan tangan bergetar, ingat akan ketulusan  teman akrab masa kecilnya, dia mencium sarung kenangan masa lalunya.Â
Hanya seorang Yana-lah  yang telah menemani masa kecilnya jadi penuh ceria dan penuh makna. Tiada hari terlewatkan bersama, melewati berbagai musim cuaca dan musim alat permainan dari  musim layang-layang, kelereng, gangsing, kwaci, karet gelang, mobil-mobilan rangka bambu, ketapel, santang, bermain bola, mancing belut, senapan dari ruas ranting bambu dan meriam bambu. Â