Orang Indonesia itu aslinya pintar-pintar. Terbukti banyak putra-putri bangsa yang berprestasi gemilang hingga ke dunia Internasional. Ada yang jadi insinyur, dosen pengajar di perguruan tinggi top dunia, di industri seni dan kreatif, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya yang ke luar negeri itu. Orang-orang Indonesia di dalam negeri pun hampir semuanya pintar-pintar. Lulusan perguruan tinggi selalu meningkat setiap tahunnya. Kualitas lulusan pun juga menanjak. Orang pintar tambah banyak dan may be terlalu banyak.
Tapi, Kenapa orang Indonesia itu bisa pintar-pintar?
Budaya dan pendidikan di Indonesia mungkin memang mendidik orang Indonesia untuk jadi pintar. Dari pendidikan rumahan, ke taman kanak-kanan, SD, SMA, hingga perguruan tertinggi, kita seperti di-auto-doktrin untuk menjadi pintar. Dan mengutamakan kepintaran akal.
Di rumah kita dibangga-banggakan jika sudah mampu berhitung di usia 2 atau 3, bahkan sekarang sudah ada yang bisa membaca dan berbahasa asing di usia tersebut. Memasuki budaya pendidikan sekolah kita dibiasakan untuk menghafal teori dan rumus. Setiap hari senin selama sekitar 12 tahun kita dibacakan sila-sila pancasila. Semua itu tanpa kita paham dan mengerti apa makna dan penjabarannya. Tanpa tahu kenapa kita harus hafal teori dan rumus-rumus itu. Kita bahkan mempelajari sampai hafal mati tanpa kesadaran di mana nantinya teori dan rumus ini akan dipakai.
Begitulah seterusnya hingga dewasa. Sistem pendidikan dan budaya lingkungan seperti inilah yang membentuk kita jadi orang yang sangat pintar.
Tapi, Kenapa Kok Masih Begini?
Kalau demikian, pertanyaannya kenapa Indonesia masih begitu-begitu saja? Kok tidak maju-maju? Yang korupsi semakin banyak. Terang-terangan lagi. Yang mengedarkan narkoba juga semakin banyak, dan orang-orangnya juga bukan orang biasa. Alias orang-orang top. Bentuk-bentuk kejahatan dan kriminalitas juga makin canggih dan beragam. Dari yang ringan, sedang, sampai yang over complicated ada semua.
Padahal kan orangnya sudah pintar-pintar?
Kita kan jadi bertanya, apa benar kemajuan suatu bangsa itu ditunjang dari banyaknya orang pintar di negeri itu?
Tapi, Trend baru yang dibanggakan itu...
Aneh ya, di Indonesia orang malah bangga kalau menyerobot antrian. Pengguna kendaraan bermotor dijalan justru bangga jika bisa mengeluarkan suara paling keras. Dari klakson panjang tanda ketidaksabaran menunggu kemacetan, sampai rengrengan knalpot racing penarik perhatian. Dari asap rokok di dalam angkot, sampai asap knalpot di luar angkot itu.
Setiap hari bisa kita jumpai, di bandara pasti ada orang yang marah-marah kepada petugas akibat penerbangan tertunda. Padahal petugas juga cuma menjalankan tugasnya. Di Stasiun, bank, dan tempat-tempat PUBLIK lainnya tak jarang didapati kejadian serupa. Semuanya ngotot mengutamakan kepentingan pribadi. Minta di mengerti, tanpa berusaha mencoba mengerti orang lain.
Inikah wajahnya "Orang Indonesia yang pintar-pintar" itu?
Tapi, Trend mengkritik hingga apatisme itu...
Media-media yang berpengaruh besar terhadap pendidikan visual, seperti Televisi juga ikut menyuguhkan acara-acara yang tak mendidik cenderung memprovokasi. Mengkritik pemerintah dijadikan sebagai suatu kehebatan. Sebab muncul trend tak terucapkan (unspoken trend) dalam benak bahwa orang-orang yang mengkritik pemerintah itu orang pintar. Akhirnya orang pun ikut-ikutan mengkritik. Sebab kalau kita mengkritik kesannya kita pintar dan keren.
Era dan spirit kebebasan berekspresi yang sekarang tengah bergaung dimana-mana juga menjadi faktor utama mengapa orang-orang lebih cenderung menkritik dan bukannya malah mendukung atau memberi masukan yang baik.
Kritikan-kritikan yang muncul pun beragam. Dari yang ringan hingga yang berat. Dari yang masih sedikit sopan hingga yang ekstrim tak terkontrol. Sampai sekarang kebiasaan mengkritik itu perlahan namun pasti bergeser menjadi sikap apatisme. Apatisme yang dibanggakan.
Tapi, Mencari jati diri bangsa yang hilang itu...
Padahal sebagai bangsa Indonesia, yang warisan budaya leluhurnya adalah kesopan-santunan, kekhasan adat timur yang sejuk, kebijaksanaan asia yang dicari, tak seharusnya kita bersikap demikian.
Saat ini, kita terlalu berkiblat pada budaya kebebasan. Memuja-muja produknya. Dan hanyut dalam pola pikirnya. Kita bahkan lebih bebas dari negara paling bebas yang ada. Kita kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang penuh tata krama dan kesopanan. Saatnya sekarang kembali ke jati diri kita. Tanpa harus ketinggalan zaman.
Saya pernah post sebelumnya bagaimana kita menunggangi era globalisasi untuk menunjukkan brand (jati diri) kita sebagai bangsa Indonesia di kancah global. Sebagaimana bangsa Korea melakukannya.
Kita bisa perhatikan contoh negara-negara yang kuat dan stabil adalah negara-negara yang pemimpinnya dicintai dan didukung oleh rakyatnya.
Tapi, Sikap adalah Segalanya
Yes! Attitude is everything. Kualitas kesuksesan seseorang ataupun bahkan suatu bangsa bukan ditentukan dari seberapa banyak orang pintarnya, tapi sikap kitalah yang menentukannya. Mengkritik itu baik, selama kritik itu disampaikan dalam bahasa yang sopan dan dengan tujuan yang membangun kepentingan bersama. Pintar itu penting. Tapi sikap yang membawa kepintaran itu jauh lebih penting.
Sistem pendidikan kita yang lebih menekankan kecerdasan otak kiri (logika), suatu saat nanti harus kita ubah menjadi lebih condong kependidikan otak kanan (sikap). Namun sekarang mari kita mulai dari diri sendiri. Kita perbaiki sikap kita masing-masing. Hilangkan ego dan kesombongan pribadi. Di atas langit masih ada langit. Tapi mungkin lebih baik kita bersama-sama menopang langit Indonesia Kita, agar tidak runtuh. Sikap kitalah yang menentukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H