Aneh ya, di Indonesia orang malah bangga kalau menyerobot antrian. Pengguna kendaraan bermotor dijalan justru bangga jika bisa mengeluarkan suara paling keras. Dari klakson panjang tanda ketidaksabaran menunggu kemacetan, sampai rengrengan knalpot racing penarik perhatian. Dari asap rokok di dalam angkot, sampai asap knalpot di luar angkot itu.
Setiap hari bisa kita jumpai, di bandara pasti ada orang yang marah-marah kepada petugas akibat penerbangan tertunda. Padahal petugas juga cuma menjalankan tugasnya. Di Stasiun, bank, dan tempat-tempat PUBLIK lainnya tak jarang didapati kejadian serupa. Semuanya ngotot mengutamakan kepentingan pribadi. Minta di mengerti, tanpa berusaha mencoba mengerti orang lain.
Inikah wajahnya "Orang Indonesia yang pintar-pintar" itu?
Tapi, Trend mengkritik hingga apatisme itu...
Media-media yang berpengaruh besar terhadap pendidikan visual, seperti Televisi juga ikut menyuguhkan acara-acara yang tak mendidik cenderung memprovokasi. Mengkritik pemerintah dijadikan sebagai suatu kehebatan. Sebab muncul trend tak terucapkan (unspoken trend) dalam benak bahwa orang-orang yang mengkritik pemerintah itu orang pintar. Akhirnya orang pun ikut-ikutan mengkritik. Sebab kalau kita mengkritik kesannya kita pintar dan keren.
Era dan spirit kebebasan berekspresi yang sekarang tengah bergaung dimana-mana juga menjadi faktor utama mengapa orang-orang lebih cenderung menkritik dan bukannya malah mendukung atau memberi masukan yang baik.
Kritikan-kritikan yang muncul pun beragam. Dari yang ringan hingga yang berat. Dari yang masih sedikit sopan hingga yang ekstrim tak terkontrol. Sampai sekarang kebiasaan mengkritik itu perlahan namun pasti bergeser menjadi sikap apatisme. Apatisme yang dibanggakan.
Tapi, Mencari jati diri bangsa yang hilang itu...
Padahal sebagai bangsa Indonesia, yang warisan budaya leluhurnya adalah kesopan-santunan, kekhasan adat timur yang sejuk, kebijaksanaan asia yang dicari, tak seharusnya kita bersikap demikian.
Saat ini, kita terlalu berkiblat pada budaya kebebasan. Memuja-muja produknya. Dan hanyut dalam pola pikirnya. Kita bahkan lebih bebas dari negara paling bebas yang ada. Kita kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang penuh tata krama dan kesopanan. Saatnya sekarang kembali ke jati diri kita. Tanpa harus ketinggalan zaman.
Saya pernah post sebelumnya bagaimana kita menunggangi era globalisasi untuk menunjukkan brand (jati diri) kita sebagai bangsa Indonesia di kancah global. Sebagaimana bangsa Korea melakukannya.