Oleh. Eduardus F. Lebe
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai berbasis Islam di Indonesia. PKS yang sebelumnya bernama Partai Keadilan adalah sebuah partai politik berbasis Islam yang memiliki perwakilan di parlemen Indonesia. Partai ini berdiri pada 20 April 1998 yang berawal dari gerakan aktivitas dakwah Islam sejak 1980-an.
Akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua persen, maka PK harus mengubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu berikutnya.
Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat Provinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat Kabupaten/Kota).
Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan) resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Sejarah singkat partai PKS, selengkapnya dapat dibaca di sini
Susunan kepengurusan PKS
Berikut susunan kepengurusan pusat PKS periode 2020-2025.
Ketua Majelis Syura Partai: Salim Segaf Aljufri
Wakil Ketua Majelis Syura: Hidayat Nur Wahid
Wakil Ketua Majelis Syura: Mohamad Sohibul Iman
Wakil Ketua Majelis Syura: Ahmad Heryawan
Wakil Ketua Majelis Syura: Suharna Surapranata
Sekretaris Majelis Syura: Untung Wahono
Ketua Majelis Pertimbangan Pusat: Suswono
Ketua Dewan Syariat Pusat: Surahman Hidayat
Dewan Pengurus Pusat
Presiden: Ahmad Syaikhu
Sekretaris Jenderal: Aboe Bakar Alhabsy
Bendahara: Mahfudz Abdurrahman
Peluang PKS di Pilpres 2024
Bicara Pilpres 2024, memang sangat jauh dan bisa saja terkesan buru-buru. Namun, tidak dengan ambisi politik elit partai. Geliat politik para elit semakin tampak dalam setiap kali bertemu masyarakat.Â
Para elit politik mulai menunjukan tekadnya untuk maju di pilpres 2024. Ada yang secara terbuka menyatakan maju dan ada pula yang masih malu-malu. Ada pula yang masih menunggu titah sang ketua umum partai.
Kesan berbeda tampak oleh para kader PKS. Berbeda dengan kader partai lain yang sudah unjuk gigi maju di Pilpres 2024, kader PKS sepertinya tidak terburu-buru untuk menyatakan diri maju dalam Pilpres 2024. Namun tidak berarti para elitnya diam saja.
Para petinggi PKS telah melakukan berbagai rangkaian pertemuan dengan para petinggi partai lain. Setidaknya dalam waktu dekat kemarin PKS telah melakukan pertemuan dengan beberapa partai seperti Partai Demokrat, PKB, Partai Golkar, dan Partai Nasdem. Tentu pertemuan ini tidak lain tidak bukan untuk kepentingan Pilpres 2024.
Salah satu kader PKS menyatakan bahwa partainya kemungkinan terbuka berkoalisi dengan partai Nasdem dan Golkar pada Pilpres 2024. Walaupun wacana politik ini belum tentu dapat dilaksanakan mengingat Pilpres masih sangat jauh. Niat PKS melakukan komunikasi politik dengan berbagai partai merupakan dinamika yang biasa dalam proses perpolitikan.
Semua partai masih memiliki peluang yang sama untuk mengusung masing-masing kader terbaiknya, termasuk PKS. Tentu tidak mudah bagi partai papan tengah seperti PKS. Salah satunya adalah ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Sampai saat ini, menurut undang-undang pemilu, ketentuan ambang batas untuk mengusung calon presiden atau presidential threshold adalah 20% dari total keseluruhan kursi di parlemen. Itu berarti, persentase kursi DPR dari suatu partai atau gabungan partai koalisi harus memenuhi ketentuan tersebut yaitu minimal 20%.Â
Jumlah kursi PKS di parlemen saat ini adalah 50 kursi atau 8,21%. PKS harus mencari partner koalisi yang memiliki kursi di parlemen minimal 12%. Hanya ada tiga partai yang memiliki suara di atas 12% yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Gerindra.Â
Berdasarkan komposisi kursi di parlemen hasil Pileg 2019, maka ada beberapa skenario koalisi yang dibangun bersama poros PKS.
Pertama, PKS berkoalisi dengan PDIP. Koalisi ini dinilai sangat sulit terwujud.Â
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, PKS mengambil posisi sebagai partai oposisi. Selain itu, PDIP yang saat ini sebagai the ruling party tentu menginginkan kadernya mendapatkan tiket untuk calon presiden.
Walaupun demikian, sangat tidak mungkin PDIP akan berkoalisi dengan PKS. Melalui sekjennya PDIP secara terus terang menyampaikan bahwa tidak mungkin dapat berkualiti dengan PKS. Sebab, ideologi politik kedua partai tersebut jauh berbeda.
Kedua, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar atau Partai Gerindra.Â
Tidak sulit PKS membangun koalisi bersama Golkar. Kedua partai tidak memiliki daya tawar cukup kuat. Jika itung-itungannya adalah jumlah kursi maka posisi calon Presiden akan diisi kadar partai Golkar sedangkan calon wakil presiden diisi PKS. Tidak menutup kemungkinan, calon presiden dan wakil presiden bukan berasal dari kedua partai tersebut.
PKS pun tidak mengalami hambatan jika berkoalisi dengan Partai Gerindra. Secara historis keduanya pernah bekerja sama di pilgub DKI Jakarta. Saat itu mereka memenangkan pertarungan dalam merebut DKI 1. Alhasil calon yang mereka dukung yaitu Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Ketiga, PKS berkoalisi dengan partai papan menengah.Â
Skema koalisi ini akan terwujud minimal terdiri atas 3 partai koalisi. PKS bisa saja berkoalisi dengan partai Demokrat dan Nasdem atau koalisi PKS, PKB, PAN, dan Nasdem.
Keadaan bisa saja berubah jika partai yang memiliki suara dibawah 10% membangun koalisi. Maka akan terbentuk koalisi partai PKS bersama Partai Nasdem, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan PPP. Jika koalisi terwujud maka ini adalah koalisi gemuk.Â
Namun skema koalisi ini sulit terwujud. Mengingat semakin banyak partai yang akan berkoalisi semakin banyak kepentingan. Semakin banyak kepentingan politik semakin sulit kesepakatan terwujud.
Di atas kertas, skema koalisi seperti yang diuraikan tersebut terlihat begitu menarik. Dinamika politik tidak mudah untuk ditelaah apalagi dipastikan hanya berdasarkan praduga semata. Namun, setiap peristiwa politik dapat ditarik benang merah sehinga menjadi suatu kesimpulan walapun sekilas dapat berubah.
Berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019, posisi tawar PKS belum cukup menjajikan. Di era reformasi, PKS hanya satu kali mencalonkan kader partainya sendiri yaitu pada pilpres 2004. Setelah itu, PKS hanya sebagai partai pelengkap. Tentu hal ini menarik untuk ditelaah.
Benarkah PKS hanya Pelengkap?
Rekam jejak PKS dalam hal berkoalisi memang tidak mulus. Penulis menggunakan istilah PKS kurang memiliki nilai jual. Posisi tawar PKS kurang menarik bagi partai lain.
Alhasil, PKS hanya sebagai partai pelengkap dalam sebuah koalisi. Hal ini karena PKS kurang memiliki nilai jual kepada sesama rekan koalisi dan juga terutama kepada pemilik suara (warga). Setidaknya ada beberapa alasan PKS kurang memiliki "nilai jual".Â
Pertama, kurang memainkan peran oposisi
Sebagai partai oposisi, PKS seharusnya memanfaatkan kelemahan pemerintah. Tampil kritis dengan ide-ide yang konstruktif untuk membangun negara. Oposisi harus produktif, efektif dalam menjalan fungsi oposisi.
Ada kesan PKS kurang memainkan peran oposisi yang sesungguhnya. Dalam isu-isu tertentu PKS justru bertentangan dengan keinginan publik. PKS pernah menolak keputusan Permendibud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lembaga pendidian.
Mayoritas masyarakat mendukung keputusan menteri pendidikan tersebut. Namun, PKS mengambil posisi yang berbeda dengan keinginan publik. Terbaru, fraksi PKS menolak rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (RUU TPKS) jadi inisiatif DPR.Â
PKS menilai naskah RUU TPKS saat ini belum komprehensif memasukkan seluruh tindakan kesusilaan (selengkapnya dapag dibaca di sini). Padahal, mayoritas publik menginginkan RUU TPKS tersebut segera di-undangkan.
Kedua, PKS kehilangan tokoh kunci
Sejauh ini kader PKS belum memiliki elektabilitas yang mumpuni. Berbeda dengan kader partai lain yang memiliki tokoh sentral dengan tingkat elektabitas yang dapat diperhitungkan.Â
Hal ini bertolak belakang dengan trend elektabilitas partai yang meningkat. Peningkatan elektabilitas partai tidak ekuivalen dengan elektabilitas kader partai. Potret elektabilitas kader partai PKS sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Perlu diingat bagi PKS adalah pemilu 2024 adalah pertarungan figur. Sosok calon presiden berpengaruh terhadap suara partai. Seketika orang akan lebih memilih figur ketimbang partai.
Keuntungan efek ekor jas terbukti pada pilpres 2019. Yang paling diuntungkan adalah PDI-P dan Partai Gerinda. Karena memiliki calon sendiri saat pilpres 2019. Ini yang mesti diingat oleh PKS.
Jika tidak ada kader PKS yang memiliki elektabilitas tinggi, maka PKS hanya sebagai partai pelengkap. Ini pernah dialami oleh PKS selama pilpres 2009, 2014, dan 2019.
Ketiga, isu dan kerja politik yang cenderung eksklusif
Perlu diakui cara kerja PKS cenderung eksklusif dan mementingkan kelompok atau golongan tertentu. Isu politik yang berkembangkan hanya seputar agama. Isu semacam ini tentu berhasil untuk kelompok tertentu namun tidak untuk yang lain.
Alhasil, PKS banyak kehilangan suara di basis masa non-muslim seperti NTT. Padahal partai dengan basis Islam seperti PKB dapat merebut 2 kursi dari NTT. Hal ini karena kerja politik PKB yang lebih inklusif dan bertekad menjadi pelindung kaum minoritas.
Dengan pola kerja partai yang eksklusi, PKS semakin kuat di beberapa daerah tertentu. Namun, dalam waktu bersamaan PKS juga kehiangan suara di daerah yang lebih terbuka. Sayang sekali PKS kehilangan suara di daerah dengan jumlah pemilih yang cukup banyak. Sekian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H