Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilpres 2024, Benarkah PKS Hanya Pelengkap?

20 Januari 2022   21:16 Diperbarui: 24 Januari 2022   07:05 1324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden PKS Ahmad Syaikhu menyampaikan pidato politik saat Musyawarah Nasional (Munas) V PKS di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (29/11/2020).| Sumber: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa via Kompas.com

PKS pun tidak mengalami hambatan jika berkoalisi dengan Partai Gerindra. Secara historis keduanya pernah bekerja sama di pilgub DKI Jakarta. Saat itu mereka memenangkan pertarungan dalam merebut DKI 1. Alhasil calon yang mereka dukung yaitu Anies Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Ketiga, PKS berkoalisi dengan partai papan menengah. 

Skema koalisi ini akan terwujud minimal terdiri atas 3 partai koalisi. PKS bisa saja berkoalisi dengan partai Demokrat dan Nasdem atau koalisi PKS, PKB, PAN, dan Nasdem.

Keadaan bisa saja berubah jika partai yang memiliki suara dibawah 10% membangun koalisi. Maka akan terbentuk koalisi partai PKS bersama Partai Nasdem, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan PPP. Jika koalisi terwujud maka ini adalah koalisi gemuk. 

Namun skema koalisi ini sulit terwujud. Mengingat semakin banyak partai yang akan berkoalisi semakin banyak kepentingan. Semakin banyak kepentingan politik semakin sulit kesepakatan terwujud.

Di atas kertas, skema koalisi seperti yang diuraikan tersebut terlihat begitu menarik. Dinamika politik tidak mudah untuk ditelaah apalagi dipastikan hanya berdasarkan praduga semata. Namun, setiap peristiwa politik dapat ditarik benang merah sehinga menjadi suatu kesimpulan walapun sekilas dapat berubah.

Berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019, posisi tawar PKS belum cukup menjajikan. Di era reformasi, PKS hanya satu kali mencalonkan kader partainya sendiri yaitu pada pilpres 2004. Setelah itu, PKS hanya sebagai partai pelengkap. Tentu hal ini menarik untuk ditelaah.

Benarkah PKS hanya Pelengkap?

Rekam jejak PKS dalam hal berkoalisi memang tidak mulus. Penulis menggunakan istilah PKS kurang memiliki nilai jual. Posisi tawar PKS kurang menarik bagi partai lain.

Alhasil, PKS hanya sebagai partai pelengkap dalam sebuah koalisi. Hal ini karena PKS kurang memiliki nilai jual kepada sesama rekan koalisi dan juga terutama kepada pemilik suara (warga). Setidaknya ada beberapa alasan PKS kurang memiliki "nilai jual". 

Pertama, kurang memainkan peran oposisi

Sebagai partai oposisi, PKS seharusnya memanfaatkan kelemahan pemerintah. Tampil kritis dengan ide-ide yang konstruktif untuk membangun negara. Oposisi harus produktif, efektif dalam menjalan fungsi oposisi.

Ada kesan PKS kurang memainkan peran oposisi yang sesungguhnya. Dalam isu-isu tertentu PKS justru bertentangan dengan keinginan publik. PKS pernah menolak keputusan Permendibud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lembaga pendidian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun