Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)
Hindari bicara hari tua karena memiliki sensitivitas yang tinggi. Begitu lah kira-kira saran yang baik untuk kita. Mengalir saja bak air, sampai pada saatnya nanti kita akan tahu masa tua kita. Sekarang kita kerja, kerja dan bekerja saja, soal hari tua pikir keri.
Sepintas saran ini seperti obat bius, membuat orang terlena karena masa tua masih lama. Namun tidak dengan orang yang sudah memikirkan masa tua, jauh-jauh hari menyiapkan hari tua dengan sangat matang. Termasuk dalam hal dimana dan bagaimana menghabiskan masa tua baik. Apakah harus punya hunian sendiri atau memilih hidup di panti jompo? Semua sudah dipersiapkan dari sekarang.
Suatu waktu penulis pernah berdialog bersama ayah mengenai kehidupan dihari tua. Banyak hal yang kami perbincangkan termasuk soal hidup di panti jompo. Enak apa tidak hidup di panti jompo, berapa yang harus dibayar kalau tinggal di panti jompo. Itulah tema yang kami perbincangkan bersama ayah.Â
Penulis memahami bahwa perbincangan tersebut hanya sebatas mengisi kekosongan di kala senja. Sambil minum kopi, tema seputar hari tua ayah dan ibu kami bicarakan. Penulis sendiri tahu bahwa ayah dan ibu tidak mungkin mau tinggal di panti jompo. Dan tak pernah terlintas dalam benak penulis untuk mengantarkan ayah dan ibu di panti jompo saat mereka tua kelak.Â
Setelah berdiskusi panjang dengan ayah, penulis mencoba meminta pendapatnya mengenai bilamana ayah  tinggal di panti jompo. Ayah memberikan jawaban yang menggetarkan hati :Â
"saya menginginkan, kelak kalau meninggal disaat saya masih bisa cari nafkah dan masih bisa mandiri. Dan meninggal tidak disaat saya sakit-sakitan, paling tidak sebelum berumur 70 an tahun. Agar tidak meropotkan mu".
Sepintas penulis merasa heran dengan jawaban tersebut. Penulis memberikan jawaban bahwa kalau tidak ingin repot maka ayah bisa hidup di pantai jompo saat masa tua. Namun sekali lagi ayah menjawab:
"saya tidak ingin kamu repot, apalagi harus merepotkan orang-orang di panti jompo. "
Penulis menangkap kesan yang begitu mendalam atas jawaban tersebut. Setidaknya ada beberapa syarat yang bisa saya uraikan sebagai berikut:
1. Totalitas mencintai anak Â
Orang tua mana yang tidak mencintai anak-anak nya. Apa pun akan dilakukan orang tua untuk kebahagiaan anak-anak. Cinta orang tua terhadap anak-anak nya tanpa batas waktu, tanpa harap imbalan.Â
Beberapa kesempatan penulis pernah mengajak diskusi dengan orang tua untuk tinggal bersama. Semakin banyak bujuk rayu, semakin banyak pula alasan untuk menolak. Tentu penulis tahu bahwa satu alasan sebenarnya yang ingin mereka sampaikan yaitu agar tidak merepotkan.Â
Salah satu cara orang tua mencintai anak nya adalah dengan tidak menjadi beban. Seperti yang dilakukan oleh orang tua penulis. Bagi penulis, merawat orang tua bukanlah beban. Namun mendengar kata hati orang tua penting juga agar tidak membuatnya tertekan.Â
Apa bila dipaksakan tinggal bersama dan malah membuat orang tua tidak nyaman maka usaha tersebut akan sia-sia. Sebab tujuan kita adalah membuat orang tua bahagia. Â Pada suatu waktu penulis mengajak orang tua berlibur ke Jawa. Mengingat penulis bekerja sebagai guru dan dosen di tanah Jawa, tepat nya di Jawa Timur, Kediri. Orang tua pun sempat ikut bersama berlibur di Jawa.
Namun demikian, ternyata orang tua tidak nyaman karena alasan penyesuaian lingkungan yang berbeda. Ada saja yang dikomentari seperti tidak ada aktivitas fisik selama berada di Jawa. Orang tua menginginkan adanya aktivitas fisik seperti berkebun, dan lain sebagainya. Maklum orang desa, pinginnya bekerja yang berat-berat.
2. Tidak ingin menghambat tugas dan pekerjaan anak
Walaupun belum terjadi, orang tua penulis sudah memikirkan kehidupan di masa tua. Orang tua berharap agar kelak dimasa tua tidak meropotkan anak-anaknya. Pesannya sederhana bahwa kelak anak juga butuh persiapan ekonomi yang matang sebagai tanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anak nya.
Bagi orang tua penulis, membiarkan anak bekerja di Jawa adalah suatu bentuk dukungan dalam menggapai cita-cita. Selalu merestui di mana saja anak tinggal dan bekerja. Tanpa menuntut tinggal bersama atau dekat dengan anak-anak.
Penulis kadang prihatin dengan keinginan orang tua yang tidak ingin membebani orang lain termasuk anaknya sendiri. Bagi orang tua penulis, karier anak harus diutamakan ketimbang memikirkan nasib orang tua. Itu tidak berarti penulis lupa dengan jasa orang tua. Keberhasilan kita dalam karier adalah hadia terbesar untuk orang tua kita.
3. Hari tua adalah kepastian yang dipersiapkan
Hari tua tidak datang tiba-tiba. Hari tua adalah perjalanan panjang dari kehidupan manusia. Bagi ayah, hari tua perlu dipersiapkan agat tidak membebankan orang lain.Â
Bila perlu hari tua tidak menjadi batu sandungan bagi anak-anak. Ayah penulis pernah berpesan bahwa jangan sampai karier anak terhenti karena keegoisan orang tua. Entah kebanyakan nonton sinetron atau apalah, namun begitu lah ayah penulis berpesan.
Orang tua mengajarkan makna kehidupan yang sesungguhnya. Orang tua menginginkan anak-anak nya sukses tanpa hambatan. Menjaga jarak untuk memastikan anak-anak nya berhasil adalah pilihan yang sulit. Namun itulah bentuk kecintaan orang tua terhadap anak-anak nya.
Bagi ayah yang paling penting menyaksikan anak-anaknya sukses. Bukan pengabdian kepada orang tua yang paling utama. Kebahagiaan terbesar orang tua di usia senja adalah melihat anaknya sukses. Begitu petuah ayah untuk penulis. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H