Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kala Aktivis Kehilangan Taring

2 November 2021   18:10 Diperbarui: 2 Januari 2022   18:17 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa bukan lagi satu-satunya sumber informasi bagi masyarakat. Dalam hal kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat dapat mengetahui nya lewat media cetak maupun media elektronik. Tidak lagi mengandalkan mahasiswa untuk mengkaji  dari setiap kebijakan pemerintah.

Perkembangan teknologi seakan mendegradasi peran dominan mahasiswa dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Alhasil, kita melihat gerakan mahasiswa seperti dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Dukungan kepada mahasiswa lambat-laun semakin berkurang.

Masyarakat secara umum memantau setiap kebijakan pemerintah, langsung dari media sosial, televisi dan YouTube. Tidak perlu lagi repot-repot mendengarkan ocehan dari mahasiswa. Masyarakat dengan sendirinya menganalisis, menilai, dan menyimpulkan sendiri setiap kebijaksanaan yang dikeluarkan. Jika mereka menganggap kebijakan tersebut baik maka mereka tidak akan mendukung pergerakan mahasiswa. 

Gerakan mahasiswa dianggap tidak lagi merepresentasikan keinginan masyarakat. Banyak aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dianggap digerakkan oleh oknum-oknum tertentu. Ada kekuatan invisible hand (begitulah kira-kira, penulis meminjamkan istilah yang sering digunakan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Kekuatan yang tidak kelihatan dan mampu memobilisasi masa demonstran. 

Gerakan mahasiswa dinilai tidak murni sebagai gerakan yang idealis. Sebab, dibalik aksi mereka ada tokoh yang memanfaatkan nya. Entah disengaja atau tidak alias penumpang gelap, namun kalangan masyarakat menilai perjuangan mahasiswa tidak murni. Bahkan ada yang berpendapat gerakan mahasiswa tersebut dibayar oleh lawan politik pemerintahan.

Mahasiswa seperti kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Banyak berita yang mengangkat buruknya moralitas mahasiswa. Hal ini sedikitnya telah merusak citra mahasiswa di kalangan masyarakat. Terakhir kita mendengar kabar ada kasus peredaran dan pemakaian narkoba oleh majas di dalam lingkungan kampus. Kasus ini viral dan menambahkan daftar panjang buruk nya moralitas mahasiswa.

Bagaimana mau mengontrol pelbagai hal yang berkaitan dengan dinamika sosial, kalau kehidupan pribadi nya amburadul. Bagaimana mau memberikan kritikan ke luar, kalau dari dalamnya busuk. Bagaimana mau bersuara kalau mulut tersumbat uang panas. Begitu lah kira-kira kecaman untuk mahasiswa yang datang dari masyarakat.

Bagaimana pun juga mahasiswa harus mengubah pola pergerakan yang berpijak idealisme. Cara yang digunakan tidak boleh pragmatis sama seperti para politikus. Cara yang dilakukan harus terukur sesuai dengan konstitusi yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Kalau aktivis seharusnya sudah tahu hal-hal yang fundamental seperti ini. Tidak perlu diajarkan lagi.

Gerakan mahasiswa seperti politik idealis harus mampu meyakinkan masyarakat. Secara "politik' harus mendapatkan dukungan publik. Jika tidak, gerakan mahasiswa akan dianggap seperti pengamen jalanan, setelah dapat uang pulang. Hal semacam ini tentu  tidak kita harapkan. Sebab, secara umum tumpuan demokrasi di Indonesia ada di tangan mahasiswa.

Mahasiswa sepertinya Kehilangan Argumentasi yang Meyakinkan Publik

Ruang demokrasi mempersilahkan siapa pun untuk menyampaikan pendapat, kritikan atau masukan. Tidak ada yang melarang, asal disampaikan secara konstitusional. Artinya tidak melanggar asas-asas demokrasi dan ketentuan hukum yang berlaku.

Ruang demokrasi sebagai tempat orang-orang beradu argumentasi. Ketidakpuasan terhadap pemerintah misalnya, harus disampaikan dengan argumentasi berbasis data. Tidak asal bicara, hanya bermodalkan siapa saja bisa bicara. Bicara tanpa data yang akurat, maka sia-sia karena itu akan dianggap seperti sedang bercerita dongeng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun