Pembaca Kompasiana yang Budiman, beberapa tulisan saya mengangkat tema tentang guru. Di beberapa tulisan tersebut, saya menyampaikan pujian dan juga kritikan kepada para guru.Â
Ada yang menyambut baik tulisan tersebut ada pula yang mungkin tidak setuju dengan tulisan saya. Pada dasar saya dan anda sekalian sepakat bahwa guru adalah pekerjaan yang mulia yang tidak bisa digantikan oleh peran apa pun.
Sebagai salah komponen penting dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya guru mendapatkan kehormatan dari masyarakat. Segenap hati dan pikiran kita, memberikan apresiasi kepada kinerja guru-guru yang mencerdaskan anak bangsa. Termasuk dalam hal memberikan masukan serta evaluasi manakala dianggap perlu.
Kemerdekaan guru dalam hal mengajar seperti menentukan strategi mengajar, melakukan evaluasi pembelajaran adalah mutlak untuk kita hormati.
Namun perlu diingat, profesi guru bukan profesi yang bersifat eksklusif (tertutup) sehingga luput dari perhatian publik. Guru tetap lah manusia yang tentu membutuhkan masukan ataupun kritik dari berbagai pihak.
Sebagai manusia biasa guru tidak luput dari kekhilafan. Oleh karena itu, selain dikontrol oleh mekanisme serta aturan baku di lembaga pendidikan, kinerja guru juga harus dikontrol dari publik. Sehingga pola kerja sama (support system) dari masyarakat dan lembaga pendidikan tetap terjaga.
Mekanisme kontrol yang baik dari publik sebagai alarm bahwa lembaga pendidikan adalah milik publik. Apa pun sekolah nya baik swasta maupun negeri tetap harus dikontrol secara baik. Jika tidak, maka lembaga pendidikan akan menjadi lembaga yang tertutup dan sulit berkembang.
Kritikan adalah Suplemen bagi Guru
Kritikan merupakan suplemen bagi guru. Kritikan disampaikan untuk mengingatkan para guru bahwa peran mereka sangat mulia. Harapan generasi emas (golden generation) Indonesia ada pundak mereka.Â
Jika peran yang begitu mendominasi dalam menyiapkan generasi emas Indonesia tidak lakukan dengan baik benar, maka sia-sia lah gelar pahlawan tanpa tanda jasa disematkan pada guru.
Mendapatkan kritikan sama halnya memperoleh prespektif baru bagi guru. Prespektif baru bagi pengetahuan guru sehingga lebih baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Apalagi yang memberikan kritikan tersebut adalah orang-orang yang kompeten di pendidikan.
Kritikan terkadang menyakitkan bagi sebagian orang. Namun apa pun alasannya kritikan harus tetap disuarakan agar para guru tetap on the track dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab nya. Tentu guru tetap diberikan otoritas penuh dalam merespon setiap kritikan. Jika kritikan tersebut baik maka perlu direspon dengan baik pula.
Kritikan harus dimanfaatkan oleh para guru untuk mengevaluasi segala bentuk kelalaian dalam menjalankan tugas. Tidak boleh menutup mata dengan fenomena yang mencoreng dunia pendidikan kita. Yang salah satunya disebabkan oleh mentalitas dan perilaku guru yang menyimpang.
Suka atau tidak, dunia pendidikan kita seringkali tercoreng akibat ulah dari beberapa oknum guru. Kasus kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, yang dialami oleh siswa-siswi akibat ulah dari beberapa oknum guru merupakan sederetan fakta rusaknya wajah pendidikan kita. Tidak bermaksud menuduh namun kenyataannya memang demikian.Â
Di tahun 2019, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 153 aduan kasus kekerasan pada anak di lingkungan sekolah. Anak menjadi korban kebijakan sekolah, kekerasan fisik, dan perundungan. Sebagian besar kekerasan atau sebanyak 44 persen dilakukan oleh guru (m.medcom.id, 30 Desember 2019).Â
Tidak ada alasan yang membenarkan guru melakukan tindakan kekerasan fisik pada siswa. Dalam teori pembelajaran yang berkembang, tidak pernah satu pun yang merekomendasikan kekerasan fisik sebagai punishment atas perilaku siswa yang dianggap melanggar aturan di sekolah. Punishment yang diberikan haruslah bersifat humanis dan mendidik agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Kritikan yang terukur dan diterima dengan bijaksana membuat orang lebih terbuka pikiran nya (open mind). Pikiran yang terbuka akan mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah didapatkan. Dalam ini guru semakin bijaksana dalam memilih dan memilah berbagai masukan dari pihak lain.
Mengembalikan Martabat Guru
Salah satu tugas kita adalah mengembalikan martabat guru. Sedemikian parah kah wajah guru-guru kita? Jawaban tentu tidak semua namun kalau dibiarkan dapat merusak dunia pendidikan.
"Karena nilai setitik, rusak susu Sebelanga." Lembaga pendidikan (sekolah) secara umum akan runtuh akibat ulah beberapa oknum guru. Ungkapan ini relevan, sebab ulah salah satu oknum mencoreng seluruh kinerja dari semua guru.
Kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak, bertujuan ingin mengambilkan martabat guru. Martabat guru yang mulia harus tetap dijaga agar konsisten dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas. Tidak bermaksud berlebihan atau mendeskreditkan martabat guru, namun jika diamati secara keseluruhan maka layak untuk mendapatkan catatan kritis.
Kita mengambil peran yang sama untuk menjaga martabat guru. Salah satu nya adalah dengan memberikan kritikan serta solusi konkrit yang bertanggung jawab. Kritikan sebagai pertanggungjawaban moral kita kepada dunia pendidikan.
Mengembalikan Kultur Sekolah sebagai Keberhasilan Sistem
Saya berpendapat bahwa sekolah harus membangun kultur yang berkualitas. Membangun kultur berarti membangun sistem secara keseluruhan. Keberhasilan sistem mendorong visi dan misi pendidikan yang berorientasi pada kualitas pendidikan jangka panjang yang berdaya saing dan bertahan pada persaingan global.
Belajar dari pengalaman, justru sekolah yang dianggap berkualitas baik, sering kali mendapat masalah yang tak terduga. Masalah yang akibat dari ulah beberapa oknum guru. Salah satu contoh konkrit adalah kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Yang memprihatinkan karena pelaku adalah guru itu sendiri.
Terbaru kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah yang dilakukan guru terhadap siswa hingga meninggal dunia. Guru SMP Negeri Padang Panjang, Alor, NTT, berinisial SK dipecat karena diduga menganiaya muridnya berinisial MM (13) hingga tewas ( CNN Indonesia, 26/10/2021). Inilah potret buram wajah pendidikan Indonesia.
Kekerasan yang dilakukan oleh guru tidak bisa dianggap sebagai insiden biasa. Bagi penulis ini erat kaitannya dengan sistem lembaga pendidikan yang buruk.
Jika sistem dibangun secara transparan maka hal semacam ini tidak akan terjadi. Atau paling tidak mengurangi tindakan-tindakan guru yang tidak bertanggung jawab karena dikontrol secara baik.
Kualitas sekolah yang dibangun secara sistemik akan berdampak positif bagi sekolah itu sendiri. Tahan terhadap tantangan yang ada dan mudah menyesuaikan diri dengan segala bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebab, sistemnya bekerja secara maksimal karena tidak hanya mengandalkan salah satu unsur saja.
Kita mengharap guru-guru membangun relasi yang baik dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidang pendidikan. Membangun support system untuk keberlangsungan sebuah lembaga pendidikan. Sehingga sekolah-sekolah yang ada tidak terjebak pada nama besar secara individu saja atau tidak sekedar menikmati masa-masa keemasan masa lalu.Â
Sekolah-sekolah yang mengandalkan nama besar tokoh atau keberhasilan di masa lalu akan sulit bertahan dalam persaingan. Acap kali kita mendengar kasus kekerasan, pelecehan seksual terjadi di sekolah yang dikenal sebagai sekolah favorit. Hal ini terjadi karena support system tidak berjalan secara maksimal.Â
Kepercayaan masyarakat yang tinggal kepada guru-guru atau sekolah karena nama besar sekolah seringkali membawa petaka. Tidak ada kontrol yang baik dari orang tua misalnya, menjadikan sekolah sebagai lembaga yang ekslusif. Akibatnya, banyak kasus yang terjadi justru datang dari sekolah yang dianggap baik.
Pembaca Kompasiana yang Budiman, kritikan kadang menyakitkan namun memiliki banyak manfaat. Seperti yang sudah diuraikan, kritikan kepada guru merupakan bentuk kecintaan kita kepada guru-guru kita. Sebab guru-guru ada garda terdepan dalam rangka menyiapkan generasi penerus.
Di akhir kata, penulis ingin menyampaikan bahwa "apakah dengan mengatakan kebenaran kepada mu (guru),lalu anda harus memusuhi aku?" Sekian.
Mengeruda, 28 Oktober 2021
Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H