Tahap-tahap pembuatan soal seperti uji validitas dan reliabilitas tidak dijalankan secara semestinya. Alhasil, sering kali  kualitas soal yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi. Bahkan penulis seringkali menganggap guru-guru sering ngelawak kalau lagi menyusun soal.
Berikut ini penulis menguraikan beberapa hal yang menjadi alasan sehingga menegaskan kembali maksud dari judul tulisan ini:Â
1. Soal sulit dianggap baik dan memuaskan pembuat soal
Ini anggapan keliru yang muncul ketika membuat soal. Soal sulit tidak berarti kualitas soal tersebut baik. Justru hal ini menggambarkan ketidakmampuan guru dalam mengajar. Kesulitan soal itu relatif dengan berbagai variabel penentu. Sangat disayangkan, jika kesulitan itu merupakan akibat dari ketidakmampuan guru dalam menerangkan materi ajar sehingga siswa tidak memahaminya. Alhasil, siswa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tes yang diberikan guru.
Adanya anggapan soal sulit itu baik  telah mengakibatkan kehilangan hakekat dari maksud dan tujuan tes. Tujuan tes untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti prosesi pembelajaran. Jadi, indikator soal harus disesuaikan dengan sejauh mana  keterlaksanaan proses pembelajaran yang sudah dilakukan guru.
Kesan lain adalah adanya kepuasan tersendiri pada guru bila siswa tidak bisa mengerjakan soal yang diberikannya. Ini lebih aneh lagi. Sebab, jika siswa tidak bisa mengerjakan soal yang mereka memberikan, timbul kesan "hebat" pada guru tersebut. Ini lawakan yang tidak perlu dilakukan oleh guru-guru profesional, yang memahami hakekat dan maksud dilaksanakan tes.
Suatu kali saya ditugaskan oleh salah satu yayasan untuk membimbing guru fisika dari beberapa sekolah yang bernaung di yayasan tersebut. Tugas saya adalah membimbing  para guru tersebut bagaimana cara menyusun soal yang baik dan benar.
Disela-sela bimbingan saya meminta mereka untuk menyiapkan soal-soal yang pernah mereka berikan kepada siswa-siswi di masing-masing sekolah. Dengan soal yang mereka miliki, saya menyuruh mereka mengerjakan soal-soal tersebut seperti layaknya seorang siswa saat mengikuti ulangan atau ujian.
Hasilnya cukup mengejutkan, dari segi waktu pengerjaan, hampir semua guru tersebut mengerjakan soal-soal ulangan yang dibuat nya tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan.Â
Dalam artian, yang sebenarnya harus dikerjakan dalam waktu 120 menit namun mereka  menyelesaikannya lebih dari waktu yang sudah ditetapkan. Kesimpulannya jelas, guru yang menyusun soal saja tidak mampu mengerjakan soal tersebut dalam waktu yang sudah ditentukan apalagi siswa.
Gambaran ini menegaskan kembali bahwa soal-soal yang dibuat harus memperhatikan tingkat kesukaran masing-masing butir soal. Hal ini agar tidak terjebak pada keterbatasan waktu bagi siswa dalam mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian.Â
Padahal, waktu 120 menit misalnya, sudah sangat realistis untuk mengerjakan 30 butir soal, jika 1 soal menghabiskan waktu 4 menit. Itu kalau soal yang dibuat guru memperhatikan durasi waktu yang ditetapkan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!