Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Belajar dari Baim Wong: Kita Bukan Malaikat Penolong

14 Oktober 2021   08:33 Diperbarui: 17 Oktober 2021   01:00 1861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baim Wong dan Kakek Suhud di salah satu konten Baim Wong. (YouTube Baim Paula via kompas.com)

Sebaik-baik nya manusia tidak akan terus-menerus menolong sesama dan seburuk-buruk nya manusia pasti pernah menolong sesama. 

Naluri menolong sesama adalah kodrat alamiah yang secara sadar terbentuk dari hasil refleksi pengalaman hidup masing-masing. Rasa belas kasihan dalam diri seseorang seiring tumbuh bersama pengalaman hidup bersama orang lain.

Tolong menolong dalam kehidupan manusia merupakan hal yang biasa dan hampir semua orang melakukannya. Yang luar biasa adalah keseringan menolong sehingga mendapatkan julukan "sang penolong". Jika sudah demikian, maka hari-hari akan melakoni hidup sebagai penolong orang lemah (susah).

Apakah manusia bertahan dalam melakoni hidup sebagai penolong sejati? Pertanyaan macam apa ini? Pertanyaan yang menginginkan jawaban atas "kemampuan" dan "daya tahan" manusia sebagai penolong bagi sesama. 

Jawaban kapan seseorang harus menolong, kepada siapa harus menolong, untuk apa menolong adalah hal yang penting. Walau pun terkesan sedang mempertentangkan esensi dasar dari tolong menolong.

Semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk saling menolong. Tentu menolong dengan keikhlasan hati. Menolong tanpa mengharapkan imbalan, menolong dengan segenap hati dan pikiran. Singkatnya, manusia diajarkan untuk menolong tanpa pamrih. Mampukah?

Agama boleh saja mengajarkan hal-hal baik termasuk dalam hal menolong. Akan tetapi apalah dayanya, manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kekhilafan. 

Seiring dengan ego yang menempatkan manusia pada ketidakpuasan terhadap apa yang diberikan kepada orang lain. Tuntutan timbal balik atas apa yang diberikan menjadi titik awal ketimpangan cara pandang mengenai pertolongan.

Manusia bukan Malaikat Penolong

Sebagai manusia biasa kita tentu tidak bisa samakan dengan malaikat penolong. Kita memberi dari apa yang kita punya dan kita tidak akan memberikan dari "ketidakpunyaan". Pemaknaan jelas bahwa dalam hal memberi manusia tunduk pada  kemampuan yang dimilikinya.

Belajar dari kasus Baim Wong dengan seorang pengemis (menurut keterangan Baim), apa yang tampak di layar kaca tidak selalu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. 

Konten YouTube Baim Wong yang berisi tentang bagi-bagi hadiah, menolong sesama adalah suatu keadaan yang mungkin saja real, namun dalam pengkondisian sebagaimana layaknya seorang kreator YouTube.

Masyarakat sudah terlanjur menghayati peran Baim Wong sebagai penolong orang-orang yang lemah. Publik figur yang sudah diidolakan sebagai seorang yang suka menolong, maka publik figur tersebut secara normatif taat pada keinginan publik. 

Jika tidak, maka kelar lah reputasinya. Sekali pun bagi penulis menolong adalah panggilan hidup dengan batasan-batasan yang normal sebagaimana manusia biasa, bukan karena tuntutan peran dari sebuah naskah.

Baim Wong bisa saja benar, namun tidak bagi publik dalam hal ini diwakili oleh kaum netizen. 

Bagi netizen, perilaku Baim Wong memarahi seorang pengemis yang kemudian diketahui bukan seorang pengemis adalah tindakan tidak terpuji. Apalagi netizen sudah mengetahui sepak terjangnya di YouTube sebagai penolong.

Baim Wong manusia bukan malaikat. Semua sepak terjangnya di YouTube bak malaikat penolong hilang seketika setelah kasusnya bersama pengemis viral. 

Hujatan datang silih berganti dari para netizen yang maha benar. Itulah risiko jadi publik figur yang  tampil sebagai orang yang suka menolong sesama.

Bagi sebagian netizen menganggap bahwa konten YouTube yang isinya menolong sesama hanya pencitraan. Baim Wong membantu orang susah sebenarnya hanya demi konten YouTube. Begitulah kira-kira anggapan para netizen terhadap Baim Wong.

Belajar dari kasus Baim Wong tersebut, tidak semua hal yang kita lakukan layak untuk dikonsumsi publik. Reaksi Publik sebagai Kesadaran yang "Datang Terlambat".

Di era serba digital, netizen merupakan kelompok sosial yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku sosial. Kondisi masyarakat yang anomik akan dengan mudah mencapai tujuan yang diinginkan melalui sosial media. 

Seperti ada yang mengkoordinasikan manakala netizens merespon berbagai persoalan termasuk yang sedang dihadapi oleh Baim Wong.

Untuk dalam kasus ini penulis menyatakan dengan tegas bahwa kesadaran masyarakat datang terlambat. Masyarakat  kecewa karena fakta-fakta di kehidupan nyata bertolak belakang dengan yang sering ditampilkan di layar kaca.  

Harusnya sejak awal publik tahu bahwa semua yang ada di layar kaca sebagian besar adalah setingan. Lalu apakah salah? Jawabannya tentu tidak.

Termasuk dalam hal menolong, sebaiknya dilakukan secara diam-diam. Namun sekali lagi, Baim Wong adalah selebritas sekaligus konten kreator yang apa saja bisa dijadikan konten YouTube dan tentu akan mendapatkan chuan. 

Reaksi Publik sebagai Kesadaran yang "Datang Terlambat"

Di era serba digital, netizen merupakan kelompok sosial yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku sosial. Kondisi masyarakat yang anomik akan dengan mudah mencapai tujuan yang diinginkan melalui sosial media. 

Seperti ada yang mengkoordinasikan manakala netizens merespon berbagai persoalan termasuk yang sedang dihadapi oleh Baim Wong.

Untuk dalam kasus ini penulis menyatakan dengan tegas bahwa kesadaran masyarakat datang terlambat. Masyarakat kecewa karena fakta-fakta di kehidupan nyata bertolak belakang dengan yang sering ditampilkan di layar kaca. 

Harusnya sejak awal publik tahu bahwa semua yang ada di layar kaca sebagian besar adalah setingan. Lalu apakah salah? Jawabannya tentu tidak.

Mencoba mengaplikasikan kehidupan layar kaca ke dunia nyata itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Yang selalu sabar di layar kaca tidak menggambarkan kesabaran tokoh di kehidupan real. Semua hanya berganti peran sesuai tuntutan sang produser.

Reaksi masyarakat seperti yang dialami oleh Baim Wong adalah bagian dari kontrol sosial. Hanya saja motivasi setiap orang berbeda-beda. 

Murni karena merasa apa yang dilakukan Baim Wong salah namun banyak juga karena ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Harapan yang berbeda antara kehidupan di layar kaca dan di kehidupan real.

Pembaca yang budiman, kita tidak sedang menghakimi atau mendeskreditkan Baim Wong atas kasus ini. Apa pun alasannya, Baim Wong sudah memberikan klarifikasi dan meminta maaf. 

Tugas kita sekarang adalah menyadari bahwa kita dipanggil untuk menolong sesama namun tetap menyadari sebagai manusia yang juga banyak kekurangan yang suatu saat tidak dapat melakukan apa-apa saat orang lain meminta tolong. Sekian.

Mengeruda, 14 Oktober 2021

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun