Belajar dari kasus Baim Wong dengan seorang pengemis (menurut keterangan Baim), apa yang tampak di layar kaca tidak selalu menggambarkan keadaan yang sebenarnya.Â
Konten YouTube Baim Wong yang berisi tentang bagi-bagi hadiah, menolong sesama adalah suatu keadaan yang mungkin saja real, namun dalam pengkondisian sebagaimana layaknya seorang kreator YouTube.
Masyarakat sudah terlanjur menghayati peran Baim Wong sebagai penolong orang-orang yang lemah. Publik figur yang sudah diidolakan sebagai seorang yang suka menolong, maka publik figur tersebut secara normatif taat pada keinginan publik.Â
Jika tidak, maka kelar lah reputasinya. Sekali pun bagi penulis menolong adalah panggilan hidup dengan batasan-batasan yang normal sebagaimana manusia biasa, bukan karena tuntutan peran dari sebuah naskah.
Baim Wong bisa saja benar, namun tidak bagi publik dalam hal ini diwakili oleh kaum netizen.Â
Bagi netizen, perilaku Baim Wong memarahi seorang pengemis yang kemudian diketahui bukan seorang pengemis adalah tindakan tidak terpuji. Apalagi netizen sudah mengetahui sepak terjangnya di YouTube sebagai penolong.
Baim Wong manusia bukan malaikat. Semua sepak terjangnya di YouTube bak malaikat penolong hilang seketika setelah kasusnya bersama pengemis viral.Â
Hujatan datang silih berganti dari para netizen yang maha benar. Itulah risiko jadi publik figur yang  tampil sebagai orang yang suka menolong sesama.
Bagi sebagian netizen menganggap bahwa konten YouTube yang isinya menolong sesama hanya pencitraan. Baim Wong membantu orang susah sebenarnya hanya demi konten YouTube. Begitulah kira-kira anggapan para netizen terhadap Baim Wong.
Belajar dari kasus Baim Wong tersebut, tidak semua hal yang kita lakukan layak untuk dikonsumsi publik. Reaksi Publik sebagai Kesadaran yang "Datang Terlambat".
Di era serba digital, netizen merupakan kelompok sosial yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku sosial. Kondisi masyarakat yang anomik akan dengan mudah mencapai tujuan yang diinginkan melalui sosial media.Â