Mohon tunggu...
Eduardus Fromotius Lebe
Eduardus Fromotius Lebe Mohon Tunggu... Dosen - Penulis dan Konsultan Skripsi

Menulis itu mengadministrasikan pikiran secara sistematis, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Media Sosial, Ancaman, dan "Self Regulation"

3 Oktober 2021   10:46 Diperbarui: 4 Oktober 2021   09:00 2096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi media sosial (sumber: shuttterstock via kompas.com)

Dunia memasuki era baru dengan segala dinamika serta kompleksitas yang luar biasa. Komputasi sering kali menjadi rujukan utama dalam memecahkan kebuntuan manusia di era modern. 

Konstruksi berpikir terorganisasi pada rasionalitas dan terkooptasi pada pragmatisme individu. Selain itu, media sosial menjadi pilihan alternatif untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Dinamika dan relasi kehidupan manusia sangat bergantung pada media sosial. Peran media sosial begitu vital dalam peradaban manusia modern. Penetrasi media sosial dalam kehidupan masyarakat telah mengubah perilaku masyarakat baik secara personal maupun secara kelompok.

Pembaca yang budiman, tranformasi media sosial berada pada periode  (fase) yang mengkuatirkan. Penggunaan media sosial yang meluas dan  tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu seakan menjadi warning bagi kehidupan sosial masyarakat. 

Sebab, dalam ruang media sosial batasan-batasan etika sering kali diabaikan.

Sebagai ruang bersosialisasi, media sosial menjelma menjadi tempat ekspresi, interaksi, dan bahkan menjadi tempat berkompetisi. 

Pro-kontra dalam media sosial tentang isu-isu tertentu seakan menambah daftar peran media sosial. Acap kali, dampak negatif dan positif seiring berjalan dalam ruang dan waktu yang bersamaan.

Media Sosial sebagai Ancaman yang Nyata.

Dampak positif dan negatif media sosial ibarat dua sisi mata uang yang saling beriringan satu dengan yang lain. Kedewasaan masyarakat dalam bermedia sosial merupakan hal yang penting untuk menciptakan suasana kondusif. 

Jika tidak demikian, maka kita akan selalu menyangsikan betapa dahsyatnya peran media sosial yang destruktif.

Interaksi dalam dunia maya (media sosial) sangatlah berbeda dengan interaksi di kehidupan nyata. Interaksi dalam media sosial tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan bahkan tidak terbatas pada usia dan status sosial tertentu. 

Dengan demikian, bukan hal baru kita menyaksikan kapan, dimana dengan siapa saja orang dapat berinteraksi dalam media sosial.

Kebebasan tanpa batas dalam bermedia sosial telah berakibat fatal. Banyak kasus perundungan (cyberbullying) kekerasan verbal, rasisme terjadi di media sosial. Perundungan atau yang lebih dikenal dengan cyberbullying terjadi karena masih belum matangnya emosi pengguna media sosial.

Masih ingat dalam ingatan kita kasus cyberbullying yang terjadi pada Sonya seorang siswi SMA di Kota Medan, Sumatera Utara pada April 2016 karena memarahi seorang Polwan saat dia ditilang. 

Pada saat itu Sonya memarahi polwan yang menilangnya dan mengaku sebagai anak jendral. Sonya dan kawan-kawannya tak jadi ditilang. 

Namun setelah video dirinya mengaku sebagai anak jenderal jad viral, Arman Depari angkat bicara dan mengatakan tak punya anak bernama Sonya. Saat Sonya ketahuan berbohong, ia langsung jadi korban perundungan di media sosial. 

Beberapa hari kemudian, berita duka datang dari pihak Sonya. Ayahnya, akmur Sembiring Depari, meninggal dunia Kamis 7 April 2016 pagi, akibat menderita stroke.

Media sosial ibarat ruang penghakiman paling tragis. Tidak memandang status sosial, baik artis, pejabat pemerintahan dan anak sekolah tidak luput dari perundungan di media sosial. 

Polarisasi perundungan di media sosial sangatlah tersistematis dan terorganisir. Bagi penulis, fenomena ini bukan karena ada oknum yang menggerakkan terjadinya cyberbullying melainkan karakteristik kelompok masyarakat kita yang anomik.

Kelompok kepentingan anomik merupakan kelompok yang mengajukan kepentingan secara spontan dan berorientasi pada tindakan segera, biasanya menggunakan cara pemogokan, demonstrasi, huru-hara dengan identitas yang kurang jelas dan akan bubar bila kepentingannya telah tercapai. 

Cyberbullying merupakan pola masyarakat anomik yang terjadi di media sosial. Sebab, terjadi secara spontan serta sering kali menggunakan identitas yang tidak jelas seperti menggunakan akun-akun palsu (fake).

Selain cyberbullying, banyak kasus kekerasan berawal dari media sosial. Kasus kekerasan seksual misalnya, sering kali bermula dari perkenalan di media sosial. Ruang media sosial tidak selalu ramah seperti yang dibayangkan.

Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra menyebut pelaku child grooming atau pelecehan seksual terhadap anak kerap dilakukan melalui media sosial. 

Polri masih mengalami kendala dalam pengungkapan kasus ini secara tuntas, lantaran pelaku melancarkan aksinya lewat aplikasi percakapan pribadi (merdeka.com, 3 Agustus 2019). Iming-iming mendapatkan hadiah sehingga membuat korban mudah tergiur.

Pembaca yang budiman, dipencarian google misalnya, ada begitu banyak kasus pemerkosaan yang bermula dari perkenalan di media sosial. Berikut ini hasil pencarian google yang sudah di screenshot oleh penulis.

Laporan kasus pemerkosaan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)
Laporan kasus pemerkosaan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)

Laporan kasus pemerkosaan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)
Laporan kasus pemerkosaan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)
Berkaitan dengan kejahatan di media sosial, penulis sendiri pernah mengalami secara langsung. Contoh konkrit adalah kejahatan jaringan penipuan undian berhadiah. 

Beberapa waktu yang lalu penulis mendapatkan informasi melalui email pribadi bahwasanya penulis mendapatkan hadiah undian berupa mobil. 

Untuk mengurus persyaratan tersebut, penulis diminta mentransfer sejumlah uang. Namun, penulis tidak menuruti perintah tersebut karena yakin bahwa itu adalah modus penipuan.

Modus penipuan semacam ini sudah meresahkan masyarakat umum. Tidak sedikit pula masyarakat yang tertipu dengan aksi-aksi penipuan semacam ini. 

Banyak laporan media masa tentang kasus penipuan online semacam ini. Berikut penulis melampirkan laporan dari pencarian google tentang kasus penipuan melalui media sosial.

Laporan kasus penipuan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)
Laporan kasus penipuan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)

Laporan kasus penipuan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)
Laporan kasus penipuan (sumber: tangkapan layar dari pencarian google)

Jika melihat fakta tersebut, membuat kita miris dan mengelus dada. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. 

Media sosial telah mengancam eksistensi kehidupan sosial masyarakat yang sesungguhnya. Media sosial tidak hanya meninggalkan jejak-jejak kebajikan, namun juga tersimpan sederetan fakta-fakta yang merisaukan. 

Akankah generasi penerus hancur karena media sosial? Pertanyaan refleksi ini menjadi tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa diam saja dengan fenomena yang terjadi di media sosial. 

Memang tidaklah mudah untuk mengatasi masalah ini. Akan tetapi, semua kita punya tanggung jawab moral terhadap ruang privasi kita dalam media sosial.

Pengguna Media Sosial Harus Memiliki Self Regulation

Self regulation atau regulasi diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan “kontrol” terhadap dirinya. “Kontrol” disini kaitannya erat dengan pengaturan emosi dan perilaku terhadap perubahan situasi apapun, yang mampu dilakukan seseorang secara mandiri. 

Kemampuan meregulasi diri inilah yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sesuatu yang kadang berlawanan dengan apa yang dirasakan.

Setiap individu harus memiliki mekanisme kontrol sendiri saat berinteraksi di media sosial. Mekanisme kontrol tersebut merupakan kesadaran yang umumnya dimiliki oleh setiap individu untuk menghindari diri dari permasalahan di media sosial. 

Artinya, sebelum melakukan sesuatu setiap individu sudah memikirkan konsekuensi yang akan diterima nya.

Menurut "Yayasan Pulih" berikut ini merupakan contoh bagian dari self regulation yang harus dimiliki oleh menggunakan media sosial:

  1. Menolak keinginan pasangan yang meminta kamu berfoto atau merekam diri kamu tanpa busana atau sedang melakukan aktivitas seksual, untuk menghindari kasus pemerasan atau revenge porn.
  2. Batasi diri sendiri untuk tidak memposting foto/video di media sosial yang berpotensi disalahgunakan oleh orang tidak bertanggung jawab.
  3. Bila ingin memperbaiki gadget dan perbaikannya perlu ditinggalkan karena memakan waktu, pastikan tidak ada foto atau video yang semestinya kamu rahasiakan.

Pengguna media sosial harus memiliki mekanisme pertahanan diri agar tidak mudah stress. Mentalitas pengguna media sosial menjadi acuan agar terhindar dari gejolak sosial dalam kehidupan bermedia sosial. Semua itu ada apabila setiap individu memiliki self regulation.

Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun