Interaksi dalam dunia maya (media sosial) sangatlah berbeda dengan interaksi di kehidupan nyata. Interaksi dalam media sosial tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan bahkan tidak terbatas pada usia dan status sosial tertentu.Â
Dengan demikian, bukan hal baru kita menyaksikan kapan, dimana dengan siapa saja orang dapat berinteraksi dalam media sosial.
Kebebasan tanpa batas dalam bermedia sosial telah berakibat fatal. Banyak kasus perundungan (cyberbullying) kekerasan verbal, rasisme terjadi di media sosial. Perundungan atau yang lebih dikenal dengan cyberbullying terjadi karena masih belum matangnya emosi pengguna media sosial.
Masih ingat dalam ingatan kita kasus cyberbullying yang terjadi pada Sonya seorang siswi SMA di Kota Medan, Sumatera Utara pada April 2016 karena memarahi seorang Polwan saat dia ditilang.Â
Pada saat itu Sonya memarahi polwan yang menilangnya dan mengaku sebagai anak jendral. Sonya dan kawan-kawannya tak jadi ditilang.Â
Namun setelah video dirinya mengaku sebagai anak jenderal jad viral, Arman Depari angkat bicara dan mengatakan tak punya anak bernama Sonya. Saat Sonya ketahuan berbohong, ia langsung jadi korban perundungan di media sosial.Â
Beberapa hari kemudian, berita duka datang dari pihak Sonya. Ayahnya, akmur Sembiring Depari, meninggal dunia Kamis 7 April 2016 pagi, akibat menderita stroke.
Media sosial ibarat ruang penghakiman paling tragis. Tidak memandang status sosial, baik artis, pejabat pemerintahan dan anak sekolah tidak luput dari perundungan di media sosial.Â
Polarisasi perundungan di media sosial sangatlah tersistematis dan terorganisir. Bagi penulis, fenomena ini bukan karena ada oknum yang menggerakkan terjadinya cyberbullying melainkan karakteristik kelompok masyarakat kita yang anomik.
Kelompok kepentingan anomik merupakan kelompok yang mengajukan kepentingan secara spontan dan berorientasi pada tindakan segera, biasanya menggunakan cara pemogokan, demonstrasi, huru-hara dengan identitas yang kurang jelas dan akan bubar bila kepentingannya telah tercapai.Â
Cyberbullying merupakan pola masyarakat anomik yang terjadi di media sosial. Sebab, terjadi secara spontan serta sering kali menggunakan identitas yang tidak jelas seperti menggunakan akun-akun palsu (fake).