Mohon tunggu...
EDUARDUS  JOHANES  SAHAGUN
EDUARDUS JOHANES SAHAGUN Mohon Tunggu... Administrasi - Calon Widyaiswara Perwakilan BKKBN Provinsi NTT

Saya adalah apa yang saya PIKIRKAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Gaya Komunikasi Masyarakat Selama Pandemi

26 Februari 2021   08:45 Diperbarui: 26 Februari 2021   08:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehadiran internet sebagai media baru dengan sebutan lain cybermedia atau media siber, tidak hanya menjadi sarana menyampaikan pesan dan bank informasi, tetapi juga menjadi ruang budaya baru di era new media seperti sekarang ini. Di mana pada satu titik, sudah menjadi penentu 'revolusi' budaya di masyarakat. 

Bagaimana tidak, kita begitu riuh dan asyik berkutat dalam media siber ini. Dampak yang nyata dari kemunculan media siber adalah tercetusnya banyak model media sosial dan aplikasi chatting. 

Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, adalah sebagian contohnya. Sedangkan aplikasi chatting seperti, WhatsApp, Line, Telegram, Kakao Talk, Zoom, adalah misal yang lain. 

Jelaslah bahwa telah terjadi 'pergeseran' cara berkomunikasi masyarakat yang begitu pesat, sementara interaksi manusia melalui internet begitu dinamis selama 24 jam non-stop.

Bertolak dari data yang dilaporkan oleh content delivery Akamai - Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market, lalu lintas internet di Indonesia telah mengalami pertumbuhan sebesar 73 persen pada kuartal pertama 2020. 

Di kuartal kedua, angka tersebut terus melambung hingga mencapai 139 persen. Jika dibandingkan dengan kuartal kedua tahun lalu, traffic internet di Indonesia telah mengalami lonjakan sebesar 46 persen (Kompas.com, 21/12/2020). 

Sementara itu, hasil survei Pengguna Internet Indonesia 2019-2020 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) memberi gambaran bahwa penetrasi pengguna internet Indonesia berjumlah 73,7 persen, naik dari 64,8 persen dari tahun 2018. 

Jika data ini digabungkan dengan angka proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) menyangkut populasi Indonesia tahun 2019 yang berjumah 266.911.900 juta, maka diperkirakan pengguna internet Indonesia sebanyak 196,7 juta pengguna.

Realita adanya peningkatan pengguna internet disebabkan oleh infrastruktur internet cepat atau broadband di Indonesia yang semakin merata dengan adanya Palapa Ring, juga karena adanya transformasi digital yang semakin masif akibat pembelajaran online dan kebijakan bekerja dari rumah sejak Maret 2020 lalu. 

Mayoritas pengguna telah mengakses internet lebih dari 8 jam dalam satu hari sehingga terjadi pergeseran perilaku pengguna selama pandemi, antara lain dari konten media online yang diakses pengguna. 

Data APJII menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2020 mayoritas konten media online yang diakses pengguna adalah konten pendidikan karena kegiatan pembelajaran jarak jauh. 

Sementara konten hiburan yang banyak diakses adalah video online 49,3%, game online 16,5n streaming musik 15,3%, (VOI-Tekno 10/11/2020).

Sedangkan platform media sosial favorit pengguna adalah Facebook, Instagram dan Twitter, dan sebanyak 61% responsen sering mengakses YouTube untuk menonton konten film, musik, dan olahraga.

Fenomena melonjaknya akses media sosial sepanjang pandemi ini kemudian menjadikan sebagian dari kita mulai merasa 'nyaman' dalam berinteraksi dan berkomunikasi secara virtual. 

Bahkan, tanpa kita sadari, komunikasi virtual dalam dunia maya sudah membuat kita merasa seolah-olah nyata. Harus kita sadari bahwa dunia interaksi manusia pada hakekatnya adalah nyata (face to face). 

Internet dengan segala anak cucu media sosialnya, haruslah dipandang sebagai sarana penghubung, dan tidak bisa dijadikan sebagai keadaan yang nyata atau benar-benar terjadi. 

Ke-maya-an dunia interaksi manusia melalui internet (baca:media sosial) yang ditawarkan saat ini, tidak bisa menjadi alasan untuk merubah budaya gotong royong, kebiasaan duduk bersama, kebiasaan bacerita sambil makan siri pinang, budaya musyawarah-mufakat, budaya kekeluargaan dalam arisan, dan sebagainya.

Ke-nyata-an interaksi manusia yang sebanarnya harus terus terjaga, kendati perkembangan sarana komunikasi terus berkembang, karena pada hakekatnya, interaksi dan komunikasi adalah kesempatan di mana, dua atau lebih orang saling bertatapan mata, dan dilengkapi dengan 'sentuhan', baik itu berupa jabat tangan, berpelukan, bergandengan, atau dalam tradisi kita di NTT ada 'cium hidung', dan beragam sentuhan rasa saudara yang lazim dilakukan masyarakat selama ini.

Bagi saya, tradisi sapaan dan sentuhan kekeluargaan yang sudah sejak lama kita lakukan itu adalah tindakan nyata yang tidak bisa tergantikan dengan teknologi secanggih apapun. Kita hanya bisa merindu saat itu, karena masih berada dalam masa pandemi.

Tegas saya, manusia membutuhkan sesama yang nyata, bukan maya. Memang tak bisa dielak bahwa perkembangan telekomunikasi dan teknologi saat ini terus berjalan. 

Akan tetapi, kita perlu ingat bahwa sebenarnya kita masih hidup dan berinteraksi di dunia nyata. Karena itu, pantas dan layaklah kalau saya mengatakan bahwa intensitas berkomunikasi di dunia nyata harus menjadi prioritas utama, supaya rasa kekeluargaan kita semakin kuat. 

Saya tahu, bahwa situasi di tengah pandemi ini memang memaksa kita untuk berkomunikasi secara virtual dengan orang lain. Tetapi kita harus ingat, jangan sampai di dalam rumah (serumah) pun kita berkomunikasi secara maya dengan orang tua, atau kakak-adik, atau dengan anggota keluarga lainnya.

Realita ini bukan tanpa alasan, sebab kalau melihat keadaan dan perilaku kita sekarang, dalam suatu pertemuan, sebut saja di rumah misalnya, komunikasi intens yang terjadi paling hanya 10-15 menit awal. Itupun hanya sapaan biasa yang dihiasi dengan basa-basi menanyakan kabar dan keadaan lawan bicara kita. 

Selebihnya, setiap kita akan lebih sibuk dengan orang lain di 'genggaman' alat yang dinamakan 'acang' (gadget). Sungguh menyedihkan ketika melihat ada dua/tiga orang berkumpul di suatu ruangan, atau tempat umum, tetapi mereka sibuk dengan Hp mereka masing-masing dan tidak peduli dengan sesama disamping. 

Sudah hilangkah rasa 'dekat' bersama orang lain hanya karena takut terjangkit virus? Bagaimana relasi batin bisa terbentuk jika kita menganggap kalau dunia maya itu lebih mengasyikan? 

Kasihan ya, dunia maya yang sebenarnya tidak nyata sudah merubah 'kebiasaan' kita dalam berperilaku, saling menyapa dan bertutur kata, bahkan pada orang disekitar kita.

Sekali lagi, saya tidak menyalahkan perkembangan teknologi saat ini. Yang sangat saya sayangkan adalah perilaku kita yang perlahan mulai bergeser dan seolah 'mendewakan' aktivitas dunia maya. 

Kita seolah merasa lebih penting berurusan dengan teman-teman di media sosial, dari pada sahabat atau tetangga atau keluarga sendiri yang ada di hadapan kita, bahkan sedang membutuhkan bantuan. 

Kiranya, lewat tulisan kecil ini, kita bisa disadarkan bahwa komunikasi langsung yang terjalin pasti disempurnakan melalui sapaan kasih persaudaraan bersama orang lain yang hadir di hadapan kita secara riil. 

Dunia maya hanyalah fantasi akal kita yang tidak boleh merusak semangat kebersamaan untuk saling 'baku dapa' atau bertegur sapa secara langsung sekalipun dalam jarak. 

Kalau kita tetap mempertahankan ke-nyata-an komunikasi dan interaksi yang intens, niscaya pandemi Covid-19 ini akan dapat kita hadapi dan lewati dengan semangat kebersamaan karena adanya dukungan sosial. Jadilah pribadi yang kuat merindu 'nyata' dalam berkomunikasi dengan orang lain selama pandemi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun