Pada akhirnya, kepercayaan pada media mainstream ini lebih pada sistem yang mengontrolnya. Orang bisa salah, tetapi ada sistem yang bisa mengoreksinya. Ada Dewan Pers yang memantau kerja media-media ini. Juga ada asosiasi wartawan yang melakukan kontrol pada para anggotanya.
Inilah kendala media sosial. Media ini memang bisa menjadi alternatif. Ketika media besar hanya bisa diakses mereka yang punya kuasa, media sosial menjadi milik siapa saja. Ini media rakyat. Gagasan pewarta warga (citizen journalism) menjadi makin nyata dengan hadirnya media sosial.
Tapi satu kendala bagi pewarta warga ini adalah belum hadirnya sistem kontrol. Selain yang tergabung dalam komunitas yang jelas, sebagian besar netizen yang menjadi pewarta ini sejatinya adalah kerumunan besar yang sulit diidentifikasi siapa sesungguhnya mereka. Penumpang gelap kebebasan informasi ada dalam kerumunan ini. Mereka inilah para penyebar hoaks.
Para pembuat dan penyebar hoaks inilah yang mengancam dan merusak demokratisasi informasi melalui media sosial. Mereka memanfaatkan kecenderungan sebagian netizen yang emosional, reaktif, dan tidak berpikir terbuka. Faktanya, kabar bohong laku, sehingga telah menjadi industri tersendiri.
Bagaimana dengan media saat ini yang sebagiannya partisan? Oke, kita tak bisa menampiknya. Tanpa bermaksud membenarkannya, keberpihakan mereka rasanya tak sampai pada manipulasi fakta. Paling banter kebepihakan itu ditampilkan dalam bentuk 'framing': berita menjadi favorable untuk kelompoknya dan unfavorable untuk sebelah.
Dalam benak teman-teman yang tak percaya media arus utama ini, semua sudah 'terbeli'. Bagi yang tahu kerja para wartawan, sulit membayangkan semua wartawan itu bersekutu untuk menyebarkan informasi palsu. Okelah, seandainya para pemimpinnya sudah 'dipegang', misalnya untuk kepentingan politik tertentu, muskil rasanya para wartawan akan menurut begitu saja. Saya pernah jadi wartawan, sehingga tahu persis bagaimana praktik jurnalistik di lapangan.
Sungguh saya tak bermaksud memuja media arus utama. Tentu banyak catatan untuknya. Tapi dalam konteks disinformasi yang makin parah, keberadaan media populer ini menjadi relevan, khususnya untuk soal akurasi fakta.
Dalam silang sengkarut informasi, antara media mainstream dan media sosial bisa saling melengkapi. Para professional di media arus utama bisa menjadi standar praktik jurnalistik yang akurat. Sedangkan netizen di media sosial bisa menutupi kelemahan wartawan professional dalam menjangkau fakta yang tersebar luas.
Tak terasa kami sudah sampai di depan rumah. Entahlah apakah anakku paham atau belum. Setidaknya, dengan ceramah singkat itu, terasa ada sedikit beban yang berkurang sebagai pengajar jurnalistik. Hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H