Indonesia kini sedang menapaki babak baru khususnya dalam penegakan hukum lingkungan. Mahkamah Agung kini memiliki hakim yang disegani, untuk kasus pidana korupsi ada Hakim Agung Artidjo Alkostar dan sedang naik daun ada lagi untuk kasus hukum lingkungan yakni Hakim Agung Takdir Rahmadi.
Hakim Agung Takdir Rahmadi baru saja pada November 2016 ini menorehkan rekor vonis hukuman senilai Rp 16 Triliun untuk perusahaan pelaku pembalakan hutan, PT Merbau Pelalawan Lestari yang terbukti melakukan pembalakan hutan seluas 5,590 hektare dan 1,873 di Riau dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Yang dapat sama-sama kita pelajari, dalil keputusan sang hakim secara mengejutkan menorehkan sejarah hukum lingkungan Indonesia yakni merujuk pada asas hukum yang lebih tinggi dari norma hukum. Sebagaimana banyak kasus perusakan hutan alam, kebakaran hutan atau pembalakan hutan boleh dikatakan sulit pembuktiannya secara metodologi ilmiah atau saintifik walaupun jelas ada bukti foto kerusakan atau kebakaran hutan. Dengan mengangkat asas hukum yakni asas kehati-hatian sesuai pasal 2 Huruf F Undang-undang Tahun 2009 yang merupakan salah satu asas dari perlindungan dan pengelolahan lingkungan hidup, diadopsi dari prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yaitu “ Precautionery Principle” yang berbunyi:
"Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Bilamana terhadap ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup(order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific uncertainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measure to prevent environmental degradation).”
Menurut Hakim Agung Takdir , peradilan sebagai salah satu cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan yudikatif berkewajiban menjalankan fungsi untuk memastikan bahwa asas keberhati-hatian yang menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia diberlakukan dalam perkara-perkara yang diadili. Beliau juag menjabat sebgai ketua kamar pembinaaansekaligus wakil koordinator Tim Reformasi Kehakiman.
Namun apa mau dikata di beranda gedung pengadilan yang sama pada bulan November 2016 ini, Gedung Mahkamah Agung telah tampil keputusan Hakim Agung Kamar Agama yang dipercayakan untuk memutuskan kasus hukum lingkungan, Hakim Agung Abdul Manan memutuskan menolak permohonan kasasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHI) atas gugatan terhadap PT Surya Panen Subur sebesar Rp 438 Milliar atas kebakaran hutan di lahan gambut seluas 1,200 hektare pada tahun 2012 yang berada di kawasan hutan alam Ekosistem Gunung Leuser, Pulo Kruet, Nagan Raya, Aceh.
Dalil hakim adalah meskipun ada kebakaran di lahan gambut namun tidak ada bukti ilmiah kebakaran tersebut menaikkan nilai PH dan menurunkan kapasitas gambut sebagai penyimpan air. Dengan demikian kebakaran lahan gambut terbukti tidak mengakibatkan kerusakan tanah gambut dan tidak mengakibatkan kerugian lingkungan hidup, demikian keputisan majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Abdul Manan yang juga menjabat sebagai Ketua Kamar Agama (yang sepatutnyanya lebih kompeten mengadili perkara cerai, talak, waris islam dan ekonomi syariah)
Sebagai informasi, perusahaan sawit dengan areal lahan di daerah yang sama dengan tergugat tersebut di atas, PT Kalista Alam yang divonis hukuman senilai Rp 366 Miliar atas kebakaran lahan gambut di kawasan hutan alam Ekosistem Gunung Leuser, Pulo Kruet, Nagan Raya, Aceh. Permohonan kasasi PT Kalista Alam ditolak sepenuhnya oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Takdir pada Agustus 2015 yang lalu. Namun hingga tulisan dibuat, vonis kasus ini belum juga ada realisasinya yaitu pengganti rugi materiil senilai Rp 114 Milliar ke kas negara dan dana pemulihan lahan sebesar Rp 251 Milliar atau total keduanya senilai Rp 366 Milliar.
Dengan situasi seperti ini, walaupun sama-sama merusak lahan gambut di daerah yang sama pada tahun yang sama. Satu perusahaan kelapa sawit divonis harus mengganti rugi namun satu perusahaan kelapa sawit yang lain divonis tidak melakukan perbuatan melawan hukum alias bebas.
Satu gedung, satu bangunan pengadilan tingkat kasasi untuk kasus kerusakan lingkungan pada daerah dan tahun yang sama namun beda hakim agung yang menangani alias beda kamar. Alhasil keputusannya ujungnya adalah berbeda.
Mungkin inilah perlunya reformasi hakim supaya standar keputusan kasus perusakan lingkungan hidup, kebakaran hutan, pembalakan hutan ada pada asas hukum yang berkeadilan, asas kehati-hatian. Mengutip paparan majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Takdir Rahmadi dan anggotanya Hakim Agung Nurul Elmiyah dan Hakim Agung IGA Sumanatha, yang memutus vonis Rp 16 Triliun, yaitu:
“Bahwa kegiatan pemanfaatan hutan adalah termasuk kegiatan yang harus tunduk pada asas keberhati-hatian karena hutan merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang di dalamnya terdapat pelbagai tumbuhan dan hewan-hewan yang perlu dilindungi dari kepunahan karena kawasan hutan dan unsur-unsur yang hidup di dalamnya memiliki banyak fungsi selain fungsi ekonomi, juga fungsi ekologis sebagai sumber obat-obatan, habitat satwa, penjaga tata air dan pembersih ruang udara.