Mohon tunggu...
Edo Chandra
Edo Chandra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kadang kita berfikir berulang2 sebelum menentukan keputusan.. Bahkan kita kembali lagi setelah keputusan kita ambil.. yang membuat kita terus memutar2 perahu kehidupan kita.. hingga membuat perahu kita kehabisan bahan bakar sebelum sampai tujuan..

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Psikopat

20 Agustus 2015   14:52 Diperbarui: 20 Agustus 2015   14:52 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Awan putih melayang sendu. Membendung silau berarak perlahan. Sedang di ujung sana hitam menggelayuti. Membangun jejak. Menggiring makhluk untuk menepi.

Ah, kamu selalu begitu. Aku sudah tahu watakmu itu. Tentu tak lama lagi kau akan menangis, bukan. Dan gemuruhmu tentu bersahutan dengan jerit wanita-wanita manja di bawah halte bis seberang sana.

Ah, jerit mereka hanya karena ada pria di sebelahnya saja. Jerit ketakutan yang menanda. Mengundang mesra di tengah dingin yang perlahan membeku. Sedang ketika tak ada sesiapa. Mereka angkuh menantang dan mencaci langitmu.

Dan aku selalu begini. Duduk manis di lantai dua perpustakaan kota. Di penghujung ruang. Sudut kiri sebelah lemari kayu warna merah kelam. Berbatas kaca yang kini perlahan basah.

Dan seperti biasanya pula, sosok manis yang selalu begitu. Duduk anggun dengan buku merah jambu yang akupun tahu judulnya – Cinta Psikopat.

Sebuah nama tercetak putih di kanan bawah sampul buku. Namaku yang tak pernah kau baca di setiap kamis kau berkunjung.

Sedang “namamu” telah tertulis pasti pada halaman depan dan belakang bukuku. Tak lupa pada beberapa lembar di tengah buku yang isinya beberapa lembar. “Namamu” yang tertulis rapi bersama sedikit imajinasi.

Terkadang kita berjalan bersama menerobos riuh suasana kota. Mencemooh kemacetan pasar muara lama. Atau sekedar tersenyum sinis pada kekolotan warga kota yang berpose di pagar air mancur yang baru dibangun penguasa.

Tak lupa pula menikmati sayap ayam sambal balado yang kau suka. Sambil berlesehan di lapangan bekas markas TNI. Tawa renyahmu pun kunikmati perlahan bersama gunjinganmu tentang teman-teman wanitamu yang hingga kini belum mengembalikan ikat rambut yang mereka pinjam darimu.

Dan yang paling kusuka adalah pada halaman sembilan. Saat ketika kau duduk di sudut kanan perpustakaan – tepat berseberangan dariku. Dan aku melangkah mendekatimu. Belum berakhir langkah kaki kau sudah bertanya “apakah kau mau jadi kekasihku?”.

Ya, meski hanya sekedar pada beberapa lembar halaman buku saja. Aku nikmati kebersamaanku denganmu. Akupun telah berjanji pada diriku sendiri. Kebersamaanku denganmu akan ku tulis pada beberapa halaman buku lagi. Karena keberanianku tak sehebat imajinasiku. Bahkan untuk sekedar bertanya siapa namamu. Karena itu, hanya “namamu” yang dapat tertulis dalam setumpuk duniaku.

***

Aku beranjak. Sekedar melepas penat setelah duduk beberapa jam dengan bukuku. Terhuyung pula langkahku. Tak terelak lagi tubuhmu yang juga berjalan keluar dari mejamu. Beberapa buku berserakan.

Tanganku bergegas menggapai sembarang buku. Satu buku dan aku pergi. Meninggalkanmu yang tengah menyusun beberapa buku bacaanmu. Aku terlalu malu untuk sekedar berjarak satu kaki darimu.

Aku pasrahkan tubuh pada setumpuk kapas yang kian mengeras dalam kamarku. Menyandarkan kepala pada bantal yang sedikit berdebu. Perlahan terlelap.

Tak urung dalam anganpun kau terus membayang. Mengganggu tiap waktuku. Namun aku suka itu. Setidaknya hanya dengan ini saja aku berani bertegur sapa bahkan bergandeng tangan denganmu.

Dan pertemuan kita di ruang kamarku pun harus dipatrikan. Dalam catatanku tentunya.

Namun tak jua ku temukan buku itu. Bahkan dalam tas kecil yang kubawa pulang bersamaku.

Pikiranku merotasi ulang. Mengulang beberapa jam mencari petunjuk. Ya, tentu kamu yang akan terus menjadi petunjuk. Wajahmu yang telah terus menguasai setiap ruang pikiranku.

Ya, tentulah kamu yang memegang bukuku. Kamu yang memungutnya setelah aku meninggalkanmu. Maka kamu yang aku tuju.

***

Gemuruh hujan biaskan jeritmu. Tak seorang kan meggubris permintaan tolongmu. Tidak juga petir. Tidak juga buku yang kau genggam saat ini.

Engkau yang sedari tadi asyik membaca catatanku tentangmu. Satu per satu. Bersama dua sendok teh yang kau seduh bersama gula putih di atas meja ruang tamumu.

Tidakkah kau tahu aku tak ingin kau tau. Aku yang ingin menikmati sendiri kekaguman tentangmu. Aku yang inigin melahap sendiri setiap kecantikanmu. Dari ujung rambut hingga kakimu.

Cukuplah aku yang tahu tentang cintaku. Tak perlu kau tahu. Karena tentu kau akan menolakku. Bahkan dalam imajinasiku pun kau telah menolakku. Imaji yang telah ku tulis pada halaman pertama yang kau baca.

Kini matamu semburatkan keperihan. Engkau yang perlahan jatuh menggenggam sebilah pisau yang telah menusuk dadamu.

Aku tak bermaksud membunuhmu. Hanya menghujam kelancanganmu yang telah mengetahui setiap kalimat cintaku padamu

 

Lubuklinggau, 7 Juni 2014

Edo Chandra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun