Mohon tunggu...
edo murtadha
edo murtadha Mohon Tunggu... Foto/Videografer - I love traveling, making video

The best idea is the one that you're doing!

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Aroma Halaman Buku Untukku....

24 Mei 2016   11:02 Diperbarui: 24 Mei 2016   11:20 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Semua sudah ada dalam genggaman", kalimat itu sudah mengudara dan berakar di benak kita sejak beberapa tahun yang lalu. 

Penurunan penjualan majalah, koran dan media konvensional sejenis juga sudah bukan hal yang "wah" lagi. Efisiensi mendapatkan informasi sudah menjadi makanan sehari-hari, bahkan perpustakaan sudah menginjakkan kakinya di ranah digital. 

Ya, semua mempermudah kita untuk menembus ruang dan waktu, tidak ada lagi sepertinya informasi yang tersembunyi, bahkan jika tersembunyi pun saat terungkap bukan hanya satu kota yang mengetahuinya, tapi seluruh dunia. 

Hampir semua sudah bsia dilakukan hanya menggunakan smartphone canggih kita, entah apalagi teknologi yang akan manusia hadirkan untuk semakin mempermudah kita melakukan sesuatu. 

Dibalik badai teknologi yang menerpa bahtera kita, ada satu hal yang untuk saya pribadi tidak bisa diubah, yaitu membaca buku. Dan saya adalah generasi yang mereka sebut millenials, generasi teknologi, generasi facebook kalau tetangga saya bilang. 

Membaca buku sudah sangat pasti dapat dilakukan di dalam smartphone, laptop, PC kita masing-masing. Dan yang paling membuatnya menonjol adalah kita tidak perlu membawa-bawa buku-buku tebal yang berat dalam backpack kita. Simple. Gampang. 

Saya masih suka kok membaca artikel, mencari informasi, mengecek sesuatu menggunakan internet. Malah setap hari. 

Tapi jika dibandingkan dengan membaca buku fisik, aroma kertas saat kita membalik lembarannya, menipisnya halaman yang menandakan buku itu akan habis kita baca, merobek plastik pertama kalinya saat kita baru saja membelinya, mencari kertas bekas sebagai penanda halaman, hhmm... Itu semua menyenangkan, tidak bisa dkalahkan oleh smartphone dan teknologi canggih apapun. 

Belum lagi membuka halaman pertamanya dan menuliskan nama serta tanggal kapan saya membeli buku itu. 

Entah karena hobi turunan dari Ayah yang bercita-cita memiliki perpustakaan sendiri sedari SMA dan akhirnya saat saya duduk di kelas 4 SD beliau sudah memiliki toko buku sendiri. Atau karena daya khayal yang luar biasa setiap membalikkan halaman demi halaman. 

Ini bukan membandingkan, hanya sebuah opini dari generasi millenials yang masih berjuang menemukan apa yang diinginkannya dari hidup ini. Yang selalu mempertanyakan sesuatu. 

Karena menurut saya, membawa buku untuk dibaca itu, seperti mengunci diri sendiri dalam benak khayal sang penulis. 

dengan membuka lembar kertasnya saya merasa tidak harus kemana-kemana, di hadapan saya sudah menunggu ombak ide sang penulis. Tanpa notifikasi chat dari grup chat yang kebanyakan isinya share foto-foto aneh, lucu, atau foto-foto liburan ke domestik & luar negeri yang akan menjadi tema gosip saat reuni nanti. 

smartphone-vs-books-osama-hajjaj-5743d1fcad9273010c4e1444.jpeg
smartphone-vs-books-osama-hajjaj-5743d1fcad9273010c4e1444.jpeg
Dengan menenteng buku, saya merasa harus menemukan tempat untuk duduk dengan cukup nyaman untuk menggauli isi buku itu. Dengan menentengnya, saya menantang diri sendiri untuk meraupnya hingga lembar terakhir.

Saya rindu helaan nafas yang muncul saat membalik lembar terkahir dan menemukan bahwa yang saya balik adalah sampulnya. Yang biasanya berisikan sinopsis isi buku atau riwayat sang penulis. 

Lain halnya saat saya membaca lewat layar smartphone, notifikasi yang bertubi-tubi (Maklum saya juga social media addict) dan terkadang saya kalah dengan serunya postingan teman-teman di sosial media. Dan kemudian, beberapa jam setelahnya jari jemari ini sibuk melangkah menjawab chat, update status atau sekedar upvote post di 9gag. 

Jika buku bisa bicara, mungkin ia akan berteriak kepada saya, "Ya, lebih penting menjawab dan mengkomentari postingan sampah di sosial media ya?! Katanya mau jadi penulis, tapi beberapa halaman saja, sudah putus! Huh!". 

Lalu ada otak yang akan membenarkan si buku, "Baru saja akan memulai proses imajinasi, menggerakkan kembali mesin-mesin usang untuk berpikir, tapi malah kembali lagi ke layar 4-5inch sibuk sekaligus iri melihat momen-momen bahagia yang palsu orang lain"

Membaca buku fisik juga mengingatkan saya kepada saat dimana buku adalah teman terbaik saya. Seakan berada di dalam buku itu, mengehentikan pikiran dan fisik saya demi alur cerita dan pemikiran sang penulis, menghempaskan saya dalam amarah, menghanyutkan saya dalam alunan cinta, menyesakkan saya dalam alurnya yang kadang tak terduga. 

Meskipun kini intensitas membaca saya sudah jauh sangat berkurang dibandingkan beberapa tahun lalu saat 3 buku novel, non-fiksi bisa saya habiskan dalam waktu seminggu. Menyalahkan pekerjaan, kantor yang menyabotase waktu yang saya punya, letihnya badan dan hubungan erat antara punggung dan kasur. 

Semoga saya bisa mencuri sedikit waktu saya yang kini dimiliki oleh korporasi demi menyelami kembali arungan ide, gagasan penulis-penulis di luaran sana dan kembali mengaktifkan mesin-mesin imajinasi yang sudah mulai berdebu di dalam otak. 

http://ebookfriendly.com/
http://ebookfriendly.com/
Salam! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun