Karena menurut saya, membawa buku untuk dibaca itu, seperti mengunci diri sendiri dalam benak khayal sang penulis.Â
dengan membuka lembar kertasnya saya merasa tidak harus kemana-kemana, di hadapan saya sudah menunggu ombak ide sang penulis. Tanpa notifikasi chat dari grup chat yang kebanyakan isinya share foto-foto aneh, lucu, atau foto-foto liburan ke domestik & luar negeri yang akan menjadi tema gosip saat reuni nanti.Â
Saya rindu helaan nafas yang muncul saat membalik lembar terkahir dan menemukan bahwa yang saya balik adalah sampulnya. Yang biasanya berisikan sinopsis isi buku atau riwayat sang penulis.Â
Lain halnya saat saya membaca lewat layar smartphone, notifikasi yang bertubi-tubi (Maklum saya juga social media addict) dan terkadang saya kalah dengan serunya postingan teman-teman di sosial media. Dan kemudian, beberapa jam setelahnya jari jemari ini sibuk melangkah menjawab chat, update status atau sekedar upvote post di 9gag.Â
Jika buku bisa bicara, mungkin ia akan berteriak kepada saya, "Ya, lebih penting menjawab dan mengkomentari postingan sampah di sosial media ya?! Katanya mau jadi penulis, tapi beberapa halaman saja, sudah putus! Huh!".Â
Lalu ada otak yang akan membenarkan si buku, "Baru saja akan memulai proses imajinasi, menggerakkan kembali mesin-mesin usang untuk berpikir, tapi malah kembali lagi ke layar 4-5inch sibuk sekaligus iri melihat momen-momen bahagia yang palsu orang lain"
Membaca buku fisik juga mengingatkan saya kepada saat dimana buku adalah teman terbaik saya. Seakan berada di dalam buku itu, mengehentikan pikiran dan fisik saya demi alur cerita dan pemikiran sang penulis, menghempaskan saya dalam amarah, menghanyutkan saya dalam alunan cinta, menyesakkan saya dalam alurnya yang kadang tak terduga.Â
Meskipun kini intensitas membaca saya sudah jauh sangat berkurang dibandingkan beberapa tahun lalu saat 3 buku novel, non-fiksi bisa saya habiskan dalam waktu seminggu. Menyalahkan pekerjaan, kantor yang menyabotase waktu yang saya punya, letihnya badan dan hubungan erat antara punggung dan kasur.Â
Semoga saya bisa mencuri sedikit waktu saya yang kini dimiliki oleh korporasi demi menyelami kembali arungan ide, gagasan penulis-penulis di luaran sana dan kembali mengaktifkan mesin-mesin imajinasi yang sudah mulai berdebu di dalam otak.Â